Rabu, 29 November 2017

DISIPLIN, PERCAYA DIRI

MAKALAH DISIPLIN,PERCAYA DIRI November 05, 2017 MAKALAH PEMBINAAN DISIPLIN,PERCAYA DIRI DAN KONSEP MAKALAH PEMBINAAN DISIPLIN PERCAYA DIRI DAN KONSEP OLEH : KELOMPOK VII : 1. MUH ROCHIYAT PRADANA G 1531041059 2. MUH SARDI SABAR 1531041057 3. ANDI MUSTAFAAINAL 1531041055 4. MUHAMMAD SYAFLI HASYIM 1531041062 5. ANDI RAHMAT AMANAH 1531041067 6. A.MUH RASUL SYAM 1531041104 FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur Kehadirat Ilahhi Robbi,Karena Atas Dengan Ijinnya Akhirnya saya bisa Menyelesaikan Makalah Yang berjudul : “ Pembinaan disiplin,percaya diri dan konsep “. Makalah ini saya Buat Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Materi Psikologi Olahraga Tak Lupa Saya ucapkan terimakasih Yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penyelesaian Makalahi ini,Sehingga Alhamdulilah makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,Untuk itu Kritik dan saran untuk para pembaca sekalian diharapkan dapat membangun sehingga bisa menyempurnakan makalah saya ini. Akhir kata Saya ucapkan Terima kasih,dan semoga Makalah ini Dapat memberikan informasi dan dapat berguna untuk meningkatkan Ilmu Pengetahuan bagi Kita Semua. WASALAM. Makassar,28 Oktober 2017 penulis DAFTAR ISI Kata Pengantar.......................................................................................... i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang........................................................................................ 1 B. Landasan Teori ...................................................................................... 2 C. Rumusan Masalah.................................................................................. 3 D. Batasan Masalah..................................................................................... 3 E. Tujuan..................................................................................................... 3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Disiplin.................................................................................. 4 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin......................................... 6 C. Jenis-jenis Pola Penanaman Disiplin..................................................... 9 D. Teknik-Teknik Membina Disiplin Kelas............................................... 15 E. Upaya Menegakan Disiplin................................................................... 16 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................................. 18 B. Saran........................................................................................................ 18 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kenyataan yang terjadi pada saat ini di lapangan, anak selalu kurang disiplin dan kurang memiliki rasa tanggung jawab di sekolah, tidak membuat pekerjaan rumah, mencoret coret bangku, tidak biasa antre, pada saat upacara bendera tidak tertib, tidak berpakian dengan rapi, sering datang terlambat, menyerahkan tugas tidak tepat waktu, di dalam kelas selalu mengganggu teman, sering berkelahi, kurang hormat pada guru. Hal hal ini merupakan dasar dalam pembentukan watak dan kepribadian siswa. Kalau kebiasan ini tidak menemukan pemecahan masalahnya maka tujuan pendidikan nasional akan sulit terwujud. Berbagai faktor yang mempengaruhi anak kurang menunjukkan sikap disiplin, diantaranya lemahnya perhatian orang tua kepada anaknya dikarenakan orang tua selalu sibuk dengan urusan ekonomi, orang tua yang otoriter, keluarga yang home broken, pengaruh pergaulan dilingkungan sekitar anak , adanya perkembangan media elektronik, kurang demokratisnya pendekatan dari orang tua maupun guru yang ada di sekolah. Dengan memberikan sanksi berjenjang di sekolah pada siswa diharapkan dapat merubah sikap dari kurang disiplin dan kurang bertanggung jawab menjadi anak yang berdisiplin dan bertanggung jawab. 1 2 B. Landasan Teori Menurut The Liang Gie (1972) dalam Ali Imron, pengertian disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disiplin dapat diartikan sebagai : 1. Tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb); 2. Ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dsb); 3. Bidang studi yg memiliki objek, sistem, dan metode tertentu. Secara ilmiah, disiplin adalah cara pendekatan yang mengikuti ketentuan yang pasti dan konsisten untuk memperoleh pengertian dasar yang menjadi sasaran studi, cabang ilmu. Secara nasional disiplin adalah kondisi yang merupakan perwujudan sikap mental dan perilaku suatu bangsa ditinjau dari aspek kepatuhan dan ketaatan terhadap ketentuan peraturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disiplin adalah kesadaran untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan dari siapapun Menurut Hadisubrata (1988: 58-62) Disiplin dapat dibagi menjadi tiga yaitu disiplin otoriter, disiplin permisif, dan disiplin demokratis. 3 C. Rumusan Masalah 1. Apakah pengertian dari disiplin? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi disiplin? 3. Bagaimanakah pola penanaman disiplin? 4. Apakah teknik yang digunakan dalam membina disiplin kelas? 5. Bagaimana upaya dalam menegakkan disiplin kelas? D. Batasan Masalah Mencakup pembahasan yang begitu luas, maka penulis membatasi masalah pengertian dari disiplin, faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin, pola penanaman disiplin, teknik yang digunakan dalam membina disiplin kelas,dan upaya dalam menegakkan disiplin kelas. E. Tujuan 1. Mengetahui pengertian dari disiplin 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin 3. Mengetahui pola penanaman disiplin 4. Mengetahui teknik yang digunakan dalam membina disiplin kelas 5. Mengetahui upaya dalam menegakkan disiplin kelas BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Disiplin Disiplin berasal dari bahasa Inggris discipline yang berarti “training to act in accordance with rules,” melatih seseorang untuk bertindak sesuai aturan (Roswitha, 2009). Disiplin adalah kesadaran untuk melakukan sesuatu pekerjaan dengan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku dengan penuh tanggung jawab tanpa paksaan dari siapapun. Menurut The Liang Gie (1972) dalam Ali Imron, pengertian disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati. Sedangkan menurut Good’s (1959) dalam Dictionary of Education mengartikan disiplin sebagai berikut. Proses atau hasil pengarahan atau pengendalikan keinginan, dorongan atau kepentingan guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yangt lebih efektif. Mencari tindakan terpilih denga ulet, aktif dan diarahkan sendiri, meskipun menghadapi rintangan Pengendalian perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah. 4. Pengekangan dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan. 4 5 Disiplin kelas dapat diartikan sebagai suatu keadaan tertib di mana guru dan murid-murid mematuhi peraturan kelas sehingga mereka dapat menjalankan fungsi masing-masing secara efektif dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar didalam kelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disiplin dapat diartikan sebagai : 1. Tata tertib (di sekolah, kemiliteran, dsb); 2. Ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dsb); 3. Bidang studi yg memiliki objek, sistem, dan metode tertentu. Secara ilmiah, disiplin adalah cara pendekatan yang mengikuti ketentuan yang pasti dan konsisten untuk memperoleh pengertian dasar yang menjadi sasaran studi, cabang ilmu. Secara nasional disiplin adalah kondisi yang merupakan perwujudan sikap mental dan perilaku suatu bangsa ditinjau dari aspek kepatuhan dan ketaatan terhadap ketentuan peraturan dan hukum yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan disiplin dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur perilaku anak dalam mencapai tujuan pendidikan, karena ada perilaku yang harus dicegah atau dilarang, dan sebaliknya, harus dilakukan. Pembentukan disiplin pada saat sekarang bukan sekedar menjadikan anak agar patuh dan taat pada aturan dan tata tertib tanpa alasan sehingga mau menerima begitu saja, melainkan sebagai usaha mendisiplinkan diri sendiri (self discipline). Artinya ia berperilaku baik, patuh dan taat pada aturan bukan karena paksaan dari orang lain atau guru melainkan karena kesadaran dari dirinya. 6 Disiplin bukanlah kepatuhan lahiriah, bukanlah paksaan, bukanlah ketaatan pada otoritas gurunya untuk menuruti aturan. Disiplin adalah suatu sikap batin, bukan kepatuhan otomatis. Siswa pun bertanggung jawab untuk menciptakan suasana kelas yang baik. Suasana kelas yang tidak tegang, ada kebebasan tapi ada pula kerelaan mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah. Dengan demikian suatu kelas dikatakan berdisiplin apabila suasana belajar berlangsung dalam keadaan tertib dan teratur, baik pada waktu sebelum mengajar dimulai, sedang berlangsung, maupun setelah pelajaran selesai. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung. B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sebagai patokan atau pedoman bagi benar atau salahnya perbuatan tindakan manusia dalam masyarakat, untuk dapat melaksanakannya diperlukan unsur-unsur pola perilaku yang mendasarinya. 7 Seseorang yang melakukan perilaku disiplin didorong oleh motif untuk melakukan hal tersebut. Motif dapat diartikan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Berawal dari kata motif maka tumbuhlah kata motivasi yang diartikan sebagai daya penggerak menjadi aktif. Motivasi untuk melakukan sesuatu itu terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Untuk lebih jelasnya berikut penjelasan kedua motivasi tersebut. Motivasi Intrinsik Yang dimaksud motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau keberfungsiannya tidak perlu dirangsang dari luar karena adanya dorongan dari dalam diri sendiri dengan tujuan untuk membentuk disiplin diri sendiri dalam belajar sehingga membawa dampak pada prestasi belajarnya. 2. Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan keberfungsiannya karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi ekstrinsik dalam menanamkan disiplin sangat penting karena kemungkinan besar siswa yang sedang pada remaja selalu ingin bebas tanpa aturan dan pada akhirnya memungkinkan untuk berperilaku menyimpang. Faktor ekstrinsik dapat terbagi menjadi : 8 a. Keluarga Keluarga sebagai tempat anak belajar bersosialisasi tentunya sangat berperan dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Kebiasaan orang tua akan mempengaruhi pembentukan kepribadian anak, jika orang tua mendidik anak secara benar maka akan membentuk kepribadian anak yang baik, maka keluarga sangat berperan dalam membentuk tingkah laku anak. Orang tua yang otoriter dan yang memberi kebebasan penuh akan menjadi pendorong bagi anak untuk berperilaku agresif. Orang tua yang bersikap demokratis tidak memberikan andil terhadap perilaku anak untuk agresif dan menjadi pendorong terhadap perkembangan anak ke arah yang positif. Contoh dan perbuatan orang tua dalam keluarga akan lebih besar dampaknya terhadap perkembangan anak. Orang tua hendaklah memberi contoh dan teladan yang baik untuk anak-anaknya, karena contoh teladan akan lebih efektif daripada kata-kata. b. Lingkungan Sekolah Sekolah sebagai salah satu tempat untuk mempersiapkan generasi muda menjadi manusia dewasa dan berbudaya, tentunya akan berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak atau siswa. Pihak sekolah khususnya guru harus mampu menjalankan tugasnya sebagai pendidik, guru tidak hanya menyampaikan materi ilmu pengetahuan saja melainkan juga harus melakukan pembinaan kepribadian siswa melalui contoh dan teladan. M.I. Soelaeman (1985: 78) mengemukakan bahwa “Guru harus pandai menegakkan ketertiban, tidak melalui kekerasan melainkan melalui kerjasama dan saling mengerti. 9 Sedangkan alat yang tersedia untuk menegakkan ketertiban itu adalah kewibawaan yang bertopang pada saling mempercayai dan pada kasih sayang.” Guru mempunyai peranan penting dalam membentuk perilaku siswa. Guru harus dapat dijadikan contoh dan teladan yang baik bagi siswanya. c. Lingkungan Masyarakat Masyarakat memiliki peranan penting dalam pembentukan disiplin seseorang. Seseorang yang sudah terbiasa untuk mematuhi peraturan yang ditetapkan dalam keluarga dan sekolah maka akan cenderung orang tersebut akan mematuhi peraturan di lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat tentunya memiliki aturan yang harus ditaati oleh setiap warganya, oleh karena itu masyarakat memiliki pengaruh terhadap kedisiplinan seseorang. C. Jenis-jenis Pola Penanaman Disiplin Hadisubrata mengemukakan bahwa :”Disiplin dapat dibagi menjadi tiga yaitu disiplin otoriter, disiplin permisif, dan disiplin demokratis.” Ketiga hal tersebut dijelaskan berikut ini: 1. Disiplin Otoriter Disiplin otoritarian selalu berarti pengendalian tingkah laku berdasarkan tekanan, dorongan, pemaksaan dari luar diri seseorang. Hukuman dan ancaman kerap kali dipakai untuk memaksa, menekan, mendorong seseorang mematuhi dan mentaati peraturan. Orang patuh dan taat pada aturan yang berlaku, tetapi merasa tidak bahagia, tertekan dan tidak aman. 10 Siswa kelihatan baik, tetapi dibaliknya ada ketidakpuasan, pemberontakan dan kegelisahan atau bisa juga menjadi stres. Sebenarnya semua perbuatannya hanya karena keterpaksaan dan ketakutan menerima sangsi, bukan berdasarkan kesadaran diri. Mereka perlu dibantu untuk memahami arti dan manfaat disiplin itu bagi dirinya, agar ada kesadaran diri yang baik tentang disiplin.Penanaman disiplin yang cenderumg otoriter ditandai dengan hubungan yang bersifat otoriter, menguasai, kurang menghargai, merasa paling tahu dan benar, bersikap tertutup, dan masa bodoh terhadap keragaman yang ada. Tipe otoriter memiliki ciri-ciri yaitu: a. Guru menetapkan peraturan tanpa kompromi Dalam tipe ini guru menujukkan perilaku seperti mendominasi atau menguasai siswa, menentukan dan mengatur kelakuan siswa, merasa berkuasa dan berhak memberikan perintah, larangan, atau hukuman. b. Guru menghukum siswa yang tidak mentaati peraturan.Jika ada siswa yang membuat kesalahan atau melanggar peraturan, tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu dari siswa yang bersangkutan, guru memberikan hukuman kepadanya. c. Guru tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat atau meminta bantuan dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.Situasi yang seperti ini, guru menujukkan perilaku-perilaku seperti tidak mau menerima permohonan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya terutama dalam kesulitan belajar,dan menolak pendapat. 11 Dampak penanaman pola disiplin otoriter ini seperti yang diungkapkan oleh S.D Singgih Gunarsa (1983 : 83) adalah sebagai berikut: a) Lemahnya daya inisiatif dan kreatif dalam berpikir dan berperilaku. b) Kepribadiannya kurang matang seperti pemalu, mudah tersinggung, menaruh dendam, kurang mampu mengambil keputusan, mudah khawatir atau cemas, kurang memiliki kepercayaan diri, bersifat kaku dan tidak toleran. c) Dalam berperilaku atau mematuhi suatu peraturan tidak berdisiplin atau tergantung kontrol dari luar. d) Cenderung berperilaku nakal seperti senang bertengkar, kurang bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial 2. Disiplin Permisif Disiplin permisif merupakan protes terhadap disiplin yang kaku dan keras. Disiplin permisif ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya, kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat sesuatu dan ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi sanksi atau hukuman. Sebagai contoh kegiatan belajar mengajar yang ditandai dengan hubungan antara guru dan siswa yang bersifat permisif ini adalah suasana berlangsung tanpa partisipasi apapun dari guru, karena guru akan lebih berperan sebagai penonton. Suasana belajar yang demikian tidak akan efektif dalam pencapaian tujuannya, sebab kekacauan diantara siswa akan sering lebih muncul terjadi walaupun para 12 siswa akan lebih berusaha mengerjakan dan mempelajari materi- materi pelajaran, tetapi dalam dirinya selalu timbul kekhawatiran takut salah dan merasa tidak tenang. Timbul perasaan tidak puas pada diri sendiri yang disebabkan antara lain karena tidak ada pegangan atau pedoman yang pasti dalam kegiatan belajar mengajar mereka. Guru tidak berinteraksi ataupun memberi saran-saran lainnya kepada siswa sehingga siswa tidak mengetahui kesalahan atau kekurangan dirinya. Ciri-ciri penanaman disiplin permisif ini adalah : a) Guru bersikap acuh tak acuh terhadap kepentingan siswa misalnya adalah guru bersikap masa bodoh terhadap siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, khususnya adalah masalah belajar; guru kurang memperhatikan kegiatan belajar siswa, guru kurang memperhatikan apakah siswa memahami cara-cara belajar efektif atau tidak. b} Pengawasan guru bersifat longgar yaitu orang tua atau guru tidak menetapkan peraturan bagi anak tetapi membiarkannya untuk mengontrol dirinya sendiri. Dampak disiplin ini adalah berupa kebingungan dan kebimbangan, penyebabnya karena tidak tahu mana yang dilarang dan mana yang tidak dilarang, atau bahkan menjadi takut, cemas dan dapat juga menjadi agresif serta liar tanpa terkendali. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh S.D Gunarsa (1983 : 83) mengenai dampak penanaman disiplin permisif atau laissez faire ini adalah: a) Berkembang sifat egosentrisme yang berlebihan. b) Mudah bingung atau mengalami kesulitan, jika dihadapkan oleh batasan- 13 batasan norma yang berlaku dalam lingkungna sosialnya. c) Merasa tidak aman seperti cenderung suka merasa takut, cemas, dan agresif yang berlebih-lebihan. d) Kurang menaruh perhatian atau kasih sayang terhadap orang lain 3. Disiplin Demokratis Disiplin demokratis ini dilakukan dengan memberikan penjelasan, diskusi dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi dan mentaati peraturan yang ada. Sanksi atau hukuman diberikan kepada yang menolak atau melanggar tata tertib, tetapi hukuman dimaksud untuk menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Disiplin demokratik menggunakan hukuman dan penghargaan- penghargaan dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya hukuman tidak berbentuk hukuman badan. Hukuman hanya dapat digunakan jika terdapat bukti bahwa anak secara sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Disiplin ini bertujuan untuk mengajarkan anak untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri sehingga mereka akan melakukan apa yang benar, meskipun tidak ada orang lain yang menekan atau mengancam mereka dengan hukuman bila mereka melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan. Disiplin demokratis ini berusaha mengembangkan disiplin yang muncul dari kesadaran diri sendiri sehingga siswa memiliki disiplin yang kuat dan mantap, karena itu bagi yang mematuhi dan melaksanakan disiplin diberikan pujian dan penghargaan. Siswa patuh dan taat 14 karena didasari kesadaran dirinya, mengikuti peraturan-peraturan bukan karena terpaksa tapi atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada manfaat. Tipe demokratis ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a) Guru mengadakan dialog dengan siswa dalam menetapkan atau melaksanakan peraturan. Guru dalam hal ini cenderung menunjukkan perilaku seperti mau bekerjasama dengan siswa, mendiskusikan tentang peraturan belajar yang ditetapkan, meminta penjelasan kepada siswa jika pada suatu saat siswa dipandang melanggar peraturan, memberikan penjelasan mengenai manfaat peraturan yang diberikan. b) Memberikan bantuan kepada siswa yang menghadapi masalah. Hal ini guru mau memperhatikan dan menanggapi persoalan- persoalan yang dihadapi siswa. c) Guru menghargai siswa. Guru menunjukkan perilaku seperti memperlakukan siswa sesuai dengan kemampuannya, memahami kelebihan dan kekurangan siswa, tidak mencemooh siswa apabila suatu saat siswa tersebut berbuat kekeliruan. d) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya.Ciri ini dimaksudkan bahwa guru mau menerima pendapat siswa dipahaminya. Dampak penanaman disiplin demokratis ini seperti yang diungkapkan oleh Schneiders (1960 : 236) adalah sebagai berikut : a) Memiliki disiplin diri yaitu memiliki rasa tanggung jawab dan kontrol diri. 15 b) Memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan sosial dengan baik, dalam arti mampu berperilaku yang sesuai dengan norma. c) Memiliki kemandirian dalam berpikir dan berperilaku. d) Bersikap positif terhadap kehidupan. e) Memiliki konsep diri (self-consept) yang tepat. D. Teknik-Teknik Membina Disiplin Kelas Terdapat beberapa teknik membina disiplin kelas, antara lain: a) Teknik keteladanan guru, yaitu guru hendaknya memberi contoh teladan sikap dan perilaku yang baik kepada siswanya. b) Teknik bimbingan guru, yaitu diharapkan guru senantiasa memberikan bimbingan dan penyuluhan untuk meningkatkan kedisiplinan para siswanya. c) Teknik pengawasan bersama, yaitu dalam disiplin kelas yang baik mengandung pula kesadaran akan tujuan bersama, guru dan siswa menerimanya sebagai pengendali, sehingga situasi kelas menjadi tertib. Dalam mewujudkan tujuan bersama tersebut, beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam pembinaan disiplin kelas adalah: Mengadakan perencanaan bersama antara guru dengan siswa. Mengembangkan kepemimpinan dan tanggung jawab pada siswa. Membina organisasi kelas secara demokratis. 16 Membiasakan agar siswa dapat berdiri sendiri atau mandiri dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Membiasakan siswa untuk berpartisipasi sesuai dengan kemampuannya. Memberikan dorongan kepada siswa untuk mengembangkan pengettahuan dan keterampilan. E. Upaya Menegakan Disiplin Upaya menegakan disiplin di dalam kelas dapat dilakukan dengan meminta dukungan berbagai pihak terkait, misalnya dari pihak guru, siswa dan orang tua. Pihak-pihak tersebut selayaknya diajak bekerja sama dengan baik dan harmonis serta ikut bertanggung jawab untuk menciptakan disiplin siswa. Upaya yang dapat dilakukan oleh masing-masing pihak adalah sebagai berikut: 1).Pihak guru Disiplin banyak bergantung pada pribadi guru. Ada guru yang mempunyai kewibawaan sehingga disegani oleh siswanya. Ia tidak akan mengalami kesulitan dalam menciptakan suasana disiplin dalam kelasnya walaupun tanpa menggunakan tindakan atau hukuman yang ketat. Adapula guru yang tampaknya tidak mempunyai kepribadian, ia tidak berwibawa sehingga tidak disegani siswanya sekalipun ia menggunakan hukuman dan tindakan yang keras. Akhirnya hukuman dan tindakan tidak efektif. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 17 a) Guru hendaknya jangan ingin berkuasa dan otoriter, memaksa siswa untuk patuh terhadap segala sesuatu yang diperintahkan, karena sikap guru yang otoroter membuat suasan kelas menjadi tegang dan sering diliputi rasa takut. b) Guru harus percaya diri bahwa ia mampu menegakan disiplin bagi dirinya dan siswanya. Jangan tunjukan kelemahan dan kekurangannya pada siswa sebab pada dasarnya siswa perlu perlindungan dan rasa aman dari gurunya. c) Guru jangan memberikan janji-janji yang tidak mungkin dapat ditepati. Juga tidak memaksa siswa bebrjanji untuk memperbaiki perilakunya seketika sebab mengubah perilaku tidak mudah, memerlukan waktu dan bimbingan. d) Guru hendaknya pandai bergaul dengan siswanya, akan tetapi jangan terlampau bersahabat erat sehingga hilang rasa hormat siswa terhadapnya. Akibatnya siswa menanggap guru sebagai teman dekat, sehingga cenderung akan hilang kewibawaanya. 2).Pihak Siswa Peranan siswa dalam menciptakan suasana disiplin dalam kelas tidak kalah pentingnya, karena faktor utama adalah siswa sendiri dan siswa merupakan subyek dalam pembelajaran. Oleh karena itu siswa harus mempunyai rasa tanggung jawab untuk turut serta mewujudkan disiplin di kelasnya. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh siswa dalam mewujudkan disipilin dalam kelas, antara lain: 18 · Siswa hendaknya memiliki rasa tanggung jawab sosial untuk turut serta menciptakan suasana disiplin didalam kelas. · Siswa hendaknya memiliki keasadaran untuk mentaati aturan dan tata tertib sekolah bukan karena rasa takut atau karena merasa terpaksa. · Siswa hendaknya bertindak sebagai pengontrol atau pengawas dirinya sendiri tanpa harus diawasi oleh orang lain. · Apabila suatu saat melakukan pelanggaran, maka siswa harus berjanji pada dirinya sndiri untuk tidak mengulanginya. 3).Pihak Orang Tua Peranan orang tua dalam mewujudkan disiplin putra-putrinya di rumah, akan sangat membantu penegakan disiplin kelas. Karena itu ada bbebrapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam rangka turut menegakan disiplin, antara lain: Ø Orang tua hendaknya mengetahui tentang tata tertib sekolah yang harus dilaksanakan putra putrinya ketika disekolah. Ø Orang tua hendaknya ikut bertanggung jawab terhadap putra putrinya dengan cara turut serta mengawasinya. Ø Orang tua hendaknya turut berbicara dan turut membina putra putrinya apabila ia melanggar tata tertib atau aturan sekolah. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin yaitu ada motivasi intrinsik dan ekstrinsik yang terdiri dari keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Disiplin dapat dibagi menjadi tiga yaitu disiplin otoriter, disiplin permisif, dan disiplin demokratis. Teknik membina disiplin kelas, antara lain teknik keteladanan guru, teknik bimbingan guru, dan teknik pengawasan bersama. Untuk menegakkan disiplin di kelas harus ada kerja sama antar guru, pihak siswa dan pihak orang tua. B. Saran Seorang guru harus mampu untuk mengelola kelas dengan baik agar proses belajar mengajarnya dapat terlaksana sesuai dengan tujuan. Dan untuk mendukung proses pembelajaran kedisiplinan juga perlu dilakukan oleh seorang guru. Maka seorang guru harus mampu membuat siswanya menjadi disiplin dengan berbagai teknik ataupun cara lainnya. 19 DAFTAR PUSTAKA Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. 2002 Hamalik, Oemar. Metode Belajar Dan Kesulitan-Kesulitan Belajar Bandung: Tarsito.2005 http://kbbi.web.id/ Imron, Ali. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 2012 Mas’udi, Asy. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Yogyakarta: PT Tiga Serangkai, 2000 Rohani, Ahmad dan Abu Ahmadi. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. 1995 Slameto. Belajar Dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:Rineka Cipta.2003 Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Cetakan ke-10. Jakarta: Raja Wali. Pers. 2002. MAKALAH DISIPLIN,PERCAYA DIRI

HAKIKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA (KLP1)

HAKIKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA, TUJUAN DAN MANFAAT (klp 1) KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT., yang telah memberikan daya dan upaya kepada hamba-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah kami yang bertema “Hakikat dan Manfaat serta Tujuan Psikologi Olahraga” Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW. yang senantiasa menebarkan keindahan dan kelembutan Islam yang sangat mulia ini. Terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah psikologi olahraga yang telah memberikan pengajaran yang sangat berharga kepada kami dalam menyusun makalah kami. Dan tak lupa pula kepada teman-teman yang senantiasa memberikan dukungan penuh kepada kami. Mohon kritik dan sarannya apabila pada makalah kami terdapat kesalahan dan kekurangan baik itu dari segala aspeknya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Aamiin yaa Rabbal ‘Alamin. Makassar Oktober 2017 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 1 DAFTAR ISI 2 PENDAHULUAN A.Latar Belakang 4 B.Rumusan Masalah 6 C.Tujuan Penulisan 6 D.Manfaat Penulisan 6 PEMBAHASAN A.Hakikat Psikologi Olahraga 7 B.Tujuan dan Manfaat Psikologi Olahraga 7 1. Mengendalikan Stress……………………………………………………8 2.Meningkatkan Fikiran Positif………………………………………..........8 3.Menentukan Tujuan……………………………………………………….8 4. Mampu Memprediksi Kemampuan Diri…………………………………9 5. Mental Yang lebih Tegar………………………………………………....9 6. Meningkatkan suasana hati……………………………………………….9 7. Mengurangi stress………………………………………………………10 8. Meningkatkan rasa percaya diri………………………………………...10 9. Tidur lebih nyenyak…………………………………………………….11 BAB III PENUTUP A.Kesimpulan………………………………………………………………12 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….13 BAB 1 PENDAHULUAN a. Latar Belakang Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928). Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman. Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia. Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA). Journal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga. Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47. Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport Psychologist (1987)—sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989)— sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise. b. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hakikat psikologi olahraga ? 2. Apa tujuan dan manfaat psikologi olahraga ? c. Tujuan 1. Untuk mengetahui hakikat psikologi olahraga 2. untuk mengetahui Tujuan serta manfaat psikologi olahraga d. Manfaat 1. agar kami mengetahui dan memahami apa hakikat serta manfaat dan tujuan psikologi olahraga BAB II PEMBAHASAN A. HAKEKAT PSIKOLOGI OLAHRAGA Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari maupun yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri, Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang dikenal sebagai psokologi olahraga. Penerapan psikologi kedalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa ada hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya . Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menempilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya. B. Tujuan dan Manfaat Psikologi Olahraga Psikologi olahraga memiliki banyak manfaat dan tujuan. Berikut ini adalah manfaat dan tujuan psikologi olahraga bagi para atlet olahraga: 1.Mengendalikan stress Pertandingan olahraga seringkali memberikan stres atau tekanan pada para atlet. Selain keinginan mereka untuk menang tinggi, mereka tidak mau mengecewakan negara dan semua pendukungnya sehingga meningkatkan stres. Stres ditandai dengan peningkatan denyuut nadi, pernafasan, dan terlihat restless secara fisik. Stres pada atlet ini bisa mengganggu penampilannya saat bersaing nanti sehingga butuh psikologi sebagai teknik penurunan tingkat stres pada para atlet saat bertanding. 2.Meningkatkan pikiran positif Seorang atlet harus optimis sebelum bertanding dan selalu optimis untuk pertandingan pertandingannya selanjutnya. Apabila atlet pesimis dari awal, sudah pasti kemenangan tidak akan pernah diraih. Optimis berarti memiliki pokiran positif atas kemungkinan kemenangan yang akan diraihnya sehingga dia bisa menampilkan pertandingan yang baik. 3.Menentukan tujuan Psikologis membantu para atlet untuk menemukan tujuan dari aktivitas yang mereka lakukan. Tujuan yang merupakan hasil yang ingin dicapai akan suatu aktivitas olahraga atau pertandingan. Misalnya tujuannya adalah untuk mendapatkan medali atau membanggakan nama negara di kancah Internasional. 4.Mampu memprediksi kemampuan diri Psikologi membantu para atlet untuk lebih memahami diri mereka sendiri dari intelegensi, kemampuan, batas diri, untuk mendukung latihan atau olahraga yang maksimal dan tujuan yang maksimal. 5.Mental yang lebih tegar Psikologi juga mengajarkan dan membentuk karakter yang lebiih tegar. Persaingan antar atlet untuk bisa berlomba di kancah yang lebih tinggi cukup berat belum lagi jika mendapat kekalahan yang membuat orang yang mendukung mereka kecewa. Kekuatan untuk bangkit kembali dari semua hal buruk atau yang tidak diinginkan sangat diperlukan. Oleh karena itu, seorang atlet harus tegar. Psikologi mengajarkan bagaimana memberikan respon positif terhadap apapun yang terjadi dan memotovasi diri sendiri untu bangkit lebih kuat dan tangguh. 6. Meningkatkan suasana hati Penelitian tersebut menunjukkan bahwa olahraga teratur dapat membuat suasana hati lebih baik. Studi lainnya mengatakan bahwa olahraga mengangkat beban atau berlari dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesehatan mental Pada penelitian yang dilakukan kepada 8.000 penduduk Belanda dengan rentang usia 16-65 menemukan bahwa secara umum, orang-orang yang berolahraga secara teratur lebih puas dan bahagia dengan hidup mereka daripada mereka yang tidak. American Psychological Association (APA) juga mengatakan bahwa berolahraga dapat membantu membuat Anda merasa lebih bahagia. "Hubungan antara berolahraga dan suasana hati cukup kuat," ujar Michael Otto, selaku Profesor Psikologi Universitas Boston kepada APA. "Biasanya, lima menit setelah olahraga Anda akan mendapatkan efek penambah suasana hati," tambahnya. 7. Mengurangi Stres Tak sedikit orang yang merasa stres setelah bekerja, memilih untuk menghindari berolahraga karena sudah merasa lelah. Padahal, berolahraga dapat mengurangi tingkat stres secara keseluruhan, serta meningkatkan kemampuan untuk mengatasi dan menangani situasi beban mental yang berat. "Berolahraga mungkin dapat menjadi cara biologis untuk ketangguhan otak sehingga stres dapat berkurang," kata Otto. 8. Meningkatkan rasa percaya diri Selain meningkatkan suasana hati, menurut sebuah lembaga penelitian, berolahraga teratur juga dapat mendukung citra tubuh yang sehat. Entah karena perubahan fisik tubuh ataupun rasa bangga menyelesaikan sejumlah set latihan, efek positif dari rutinitas ini dapat menimbulkan kepuasan, yang berimbas pada rasa percaya diri. 9. Tidur lebih nyenyak Seperti yang telah diketahui, cukup tidur berarti lebih banyak energi sepanjang hari. Olahraga secara teratur ini diyakini membantu jadwal tidur yang teratur juga. Sebuah studi pada orang-orang muda menemukan bahwa mereka yang berolahraga secara intens, mendapatkan kualitas tidur malam yang lebih baik ketimbang yang tidak. Selain itu, orang yang berolahraga secara giat juga cenderung akan tidur lebih cepat, dan risiko terbangun di tengah tidur akan berkurang, serta akan tidur lebih nyenyak. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang dikenal sebagai psokologi olahraga. Penerapan psikologi kedalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa ada hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dalam psikologi olahraga ada beberapa manfaatnya yaitu kita dapat mengendalikan stress, meningkatkan fikiran positif, menentukan tujuan, mampu memprediksi kemampuan diri, mental lebih tegar, meningkatkan suasana hati, mengurangi stress dan tidur lebih nyenyak. DAFTAR PUSTAKA • http://dosenpsikologi.com/psikologi-olahraga • http://aszat.blogspot.com/2009/10/psikologi-olahraga.html • https://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi_olahraga • https://pojokpenjas.wordpress.com/category/psikologi-olahraga

Selasa, 28 November 2017

pendekatan dalam psikologi olahraga

Kata pengantar Psikologi Olahraga pada hakikatnya adalah psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut. Penampilan atlet dapat ditentukan oleh faktor kesegaran jasmani yang meliputi; sistem kardiovaskuler-respiratori, daya tahan, kekuatan, kecepatan, power, koordinasi, kelentukan dan kelincahan, dan sebagainya. Faktor keterampilan meliputi; koordinasi gerak, keindahan gerak, waktu reaksi, dan sebagainya. Faktor pembawaan fisik seperti; segi-segi antrophometrik: tinggi dan berat badan, panjang lengan, tungkai, lebar bahu, kemampuan gerak, dan lain sebagainya. Faktor psikologi dan tingkahlaku meliputi; motif-motif berprestasi, intelegensi, aktualisasi diri, kemandirian, agresivitas, emosi, percaya diri, motivasi, semangat, rasa tanggungjawab, rasa sosial, hasrat ingin menang dan sebagainya. Aspek-aspek psikhis yang berpengaruh dan dapat dikembangkan pada diri atlet adalah; 1) kemantapan emosi, 2) keuletan (agresif), 3) motivasi dan semangat, 4) disiplin, 5) percaya diri, 6) keterbukaan, dan 7) kecerdasan. Kondisi kejiwaan atlet dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Faktor keturunan (heredity, Faktor fisik (organobiologik), Faktor psiko -edukatif, sosio- kultural, Dalam melatih kondisi kejiwaan atlet adalah memberikan pengalaman kepada atlet. Daftar Isi Kata pengantar 1 Daftar Isi 3 Bab I 4 pendahuluan 4 A. Latar belakang 4 B. Rumusan masalah 5 C. Tujuan 5 D. Manfaat 5 Bab II 6 pembahasan 6 1. Pendakatan yang digunakan dalam psikologi olahraga 6 2. Faktor- faktor yang mempengaruhi pendekatan dalam psikologi olahraga 8 3. Pendekatan yang bagus untuk menunjang keberhasilan seorang atlet 9 4. Peran penting psikologi olahraga dalam meningkatkan prestasi atlet 9 Bab III 11 Penutup 11 a. Kesimpulan 11 b. Saran 12 Daftar pustaka 13 Bab I pendahuluan A. Latar belakang Psikologi Olahraga pada hakikatnya adalah psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga, meliputi faktor-faktor yang berpengatuh secara langsung terhadap atlet dan faktor-faktor di luar atlet yang dapat mempengaruhi penampilan (performance) atlet tersebut. Dua bidang kegiatannya yang besar adalah Mempelajari bagaimana pendekatan yang digunakan dalam psikologis olahraga mempengaruhi penampilan fisik seseorang. Memahami bagaimana keterlibatan seseorang dalam olahraga mempengaruhi perkembangan psikis, kesehatan, dan kesejahteraan psikisnya. Apabila dihubungkan dengan olahraga, khususnya olahraga prestasi, pengertian ini jelas menunjukkan bahwa penampilan (performance) seorang atlet dipengaruhi oleh berbagai pendekatan-pendekatan psikologis. Baik pengaruhnya positif dalam arti penampilan baik, maupun negatif dalam arti penampilan menjadi buruk. Dalam perkembangan olahraga prestasi dewasa ini, pendekatan psikologi telah menjadi salah satu bahasan tersendiri dalam mencapai penampilan atlet secara optimal. Gejala atau fenomena prilaku kejiwaan yang aneh- aneh tidak hanya muncul pada atlet yang sudah berprestasi tinggi tetapi juga bisa muncul pada atlet yang baru mulai berprestasi, hal ini selalu menjadi bahan kajian bagi ilmu psikologi olahraga. B. Rumusan masalah 1. Pendekatan apa saja yang digunakan dalam psikologi olahraga? 2. faktor-faktor yang mempengaruhi pendekatan psikologi olahraga? 3. Pendekatan apa yang bagus untuk keberhasilan seorang atlet? 4. Mengapa pendekatan psikologi olahraga sangat penting dalam meningkatkan prestasi atlet? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pendekatan yang digunakan dalam psikologi olahraga. 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempegaruhi pendektan dalam psikologi olahraga. 3. Mengetahui pendekatan yang bagus untuk keberhasilan seorang atlet. 4. Mengetahui peran penting pendekatan psikologi olahraga untuk seseorang. D. Manfaat 1. Agar pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam psikologi olahraga baik untuk seseorang atlet atau bukan atlet dapat mempelajari kejiwaan atau prilaku bagi setiap individual Bab II pembahasan 1. Pendakatan yang digunakan dalam psikologi olahraga A. Pendekatan individual Pendekatan individual adalah pendekatan dalam penerapan psikologi olahraga yang didasarkan pada pandangan dan fakta yang menunjukan bahwa setiap individu berbeda dari yang lainnya (individual differences). Setiap individu memiliki bakat, motif, sikap, emosi yang berbeda-beda. Demikian halnya dengan perilaku dalam olahraga, spektrum diferensiasi setiap individu dan beragamnya perbedaan tuntutan setiap cabang olahraga, misalnya dalam tuntutan kondisi fisik, keuletan, semangat kompetisi, tingkat konsentrasi, ketenangan dll kerap kali menuntut perilaku berolahraga seorang individu bersifat khusus. Untuk itu, guru, pelatih dan pembina olahraga dituntut mengenal sebaik-baiknya sifat-sifat kejiwaan siswa, atlet atau individu masyarakat yang melakukan aktivitas olahraga. B. Pendekatan sosiologik-interaktif Pendekatan sosiologik-interaktif adalah sebuah pendekatan dalam penerapan psikologi olahraga yang didasarkan pada premis pokok tentang eksistensi manusia sebagai makhluk sosial. Eksistensi yang menghubungkan pribadinya dengan orang lain dan lingkungan sosial sekitarnya untuk berinteraksi satu sama lain, baik sesama siswa/atlet, siswa/atlet dengan guru/pelatih, siswa/atlet dengan lingkungannya, ataupun kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan faktor eksternal disekitarnya yang menstimulasinya. C. Pendekatan multi dimensional Pendekatan multi dimensional merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan dan kenyataan bahwa penampilan olahraga terkait dan mengait dimensi yang lebi luas (ekstern) yaitu, dimensi sosial budaya, ekonomi, politik, dll. Sejumlah hasil penelitian di bidang sosiologi olahraga menuatkan pandangan bahwa ada hubungan timbal balik antara penampilan olahraga dengan dimensi sosial budaya, ekonomi, politik, dll. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan multi dimensional adalah pendekatan dalam penerapan psikologi olahraga yang didasarkan pada pandangan dan fakta bahwa aktivitas olahraga berhubungan dengan aspek sosial budaya, ekonomi, politik, antropologi, dll D. Pendekatan sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan yang beranjak dari pandangan mengenai pentingnya potimalisasi dan maksimalisasi pemanfaatan semua komponen pembinaan olahraga, seperti dana, fasilitas, sarana prasarana, program pembinaan, lingkungan atau iklim pembinaan, organisasi pengelola, dll. 2. Faktor- faktor yang mempengaruhi pendekatan dalam psikologi olahraga Faktor yang mempengaruhi pendekatan dalam psikologi olahraga antara lain: a. Factor yang bersifat Genetik/keturunan ( Herediter ) Factor ini merupakan factor yang berasal dari dalam diri individu dan diyakini oleh berbagai kalangan memberikan pengaruh terhadap kepribadian. b. Factor Lingkungan ( Environment ) Factor yang berasal dari luar individu. Antara lain budaya, kelas social, keluarga, dan teman sebaya. c. Factor Fisik ( Organo-Biologic ) Misalnya, postur tubuh yang tinggi dan besar cocok untuk olahraga basket dan voli dibandingkan dengan postur tubuh gemuk dan pendek. d. Factor spiritual ( Spiritual Factor ) Berhubungan dengan system keyakinan hidup, agama dan moral. Contohnya, seorang anak didik/atlet akan lebih jujur dan sportif apabila memiliki keyakinan diri yang kuat bersumber dari keyakinan hidup dan agamanya. 3. Pendekatan yang bagus untuk menunjang keberhasilan seorang atlet Pedekatan yang bagus untuk menunjang keberhasilan seorang atlet yaitu pendekatan individual dimana pendekatan individual dapat dilakukan secara langsung ke setiap individual yang didasarkan pada pandangan dan fakta yang menunjukan bahwa setiap individu berbeda dari yang lainnya . Setiap individu memiliki bakat, motif, sikap, emosi yang berbeda-beda. Demikian halnya dengan perilaku dalam olahraga, spektrum diferensiasi setiap individu dan beragamnya perbedaan tuntutan setiap cabang olahraga, misalnya dalam tuntutan kondisi fisik, keuletan, semangat kompetisi, tingkat konsentrasi, ketenangan dll kerap kali menuntut perilaku berolahraga seorang individu bersifat khusus. Untuk itu, guru, pelatih dan pembina olahraga dituntut mengenal sebaik-baiknya sifat-sifat kejiwaan siswa, atlet atau individu masyarakat yang melakukan aktivitas olahraga sehingga pendekatan individual bisa menunjang keberhasilan seorang atlet. 4. Peran penting psikologi olahraga dalam meningkatkan prestasi atlet Ilmu psikologi diterapkan ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya. Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut. Bab III Penutup a. Kesimpulan Psikologi Olahraga pada hakikatnya adalah psikologi yang diterapkan dalam bidang olahraga. Dua bidang kegiatannya yang besar adalah Mempelajari bagaimana pendekatan yang digunakan dalam psikologis olahraga mempengaruhi penampilan fisik seseorang. Memahami bagaimana keterlibatan seseorang dalam olahraga mempengaruhi perkembangan psikis, kesehatan, dan kesejahteraan psikisnya. Apabila dihubungkan dengan olahraga, khususnya olahraga prestasi, pengertian ini jelas menunjukkan bahwa penampilan (performance) seorang atlet dipengaruhi oleh berbagai pendekatan-pendekatan psikologis. Baik pengaruhnya positif dalam arti penampilan baik, maupun negatif dalam arti penampilan menjadi buruk. Dalam perkembangan olahraga prestasi dewasa ini, pendekatan psikologi telah menjadi salah satu bahasan tersendiri dalam mencapai penampilan atlet secara optimal. Gejala atau fenomena prilaku kejiwaan yang aneh- aneh tidak hanya muncul pada atlet yang sudah berprestasi tinggi tetapi juga bisa muncul pada atlet yang baru mulai berprestasi, hal ini selalu menjadi bahan kajian bagi ilmu psikologi olahraga. b. Saran Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pembaca dalam proses pembelajaran ataupun penambahan wawasan dalam ilmu pengetahuan . Daftar pustaka 1. Ramadhan ridwan, Muhammad. (09 november 2015). Makalah psikologi olahraga. Diperoleh dari http://muhammad ramadhan ridwan.com/ makalah psikologi olahraga/ 2. Zulfikar ahmad. Pintar belajar pendidikan jasmani dan olahraga. Diperoleh dari http://ahmad zulfikar.com// pintar belajar pendidikan jasmani dan olahraga/ 3. Maleber. Psikologi olahraga. Diperoleh dari http://real psikologi olahraga.htm

stress, kecemasan dan frustasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi fisik olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam aktivitas jasmani dan olahraga merupakan bagian terpenting dalam penampilan seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi pada olahragawan sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan olahraga. Setiap atlet atau pemanin ingin mencapai yang terbaik dan berusaha mendapatkan apa yang terbaik berdasarkan kemampuan-kemampuannya sendiri. Setiap atlet memiliki sumber daya untuk mencapai suatu prestasi. Sumber daya tersebut terwujud dalam potensi jasmaniah-rohaniah. Potensi ini sangat menentukan dalam pencapaian prestasi. Disamping itu terdapat faktor lain diluar diri atlet yang juga dapat mempengaruhi prestasi, misalnya cuaca (temperatur), tempat pertandingan, alat-alat dan sebagainya Semua atlet akan selalu dihadapkan pada sejumlah stimulus yang memberikan pengalaman stress terhadap dirinya. Dalam dunia olahraga khususnya olahraga kompetitif, atlet harus mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti sorakan dan cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya stress. Atlet yang aktif dalam dunia olahraga baik atlet daerah, nasional, atau internasional harus mempunyai kemampuan dalam coping stress, sehingga atlet mampu dengan cepat mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baik internal maupun eksternal, atau berbagai permasalahan dan aspek-aspek yang kurang menyenangkan yang diterima oleh diri atlet. Dalam mempersiapkan atlet atau pemain menghadapi pertandingan, arah pembenahan adalah penigkatkan faktor fisik yang mencakup kondisi fisiologis, teknis dan psikis. Dengan kata lain, seorang atlet harus dibekali keterampilan motorik (motorskill), kondisi fisiologis serta kesiapan aspek psikologis yang maksimal. A. Rumusan masalah 1. Defenisi stress, kecemasan dan prustasi? 2. Sumber-sumber timbulnya stress,kecemasan dan prustasi? 3. Bagaimana cara penanggulangan stress,kecemasan dan prustasi? 4. Stress, kecemasan dan prustasi dalam pertandingan? B.Tujuan 1. Menyajikan pembahasan singkat tentang pengaruh aspek psikologis terhadap penampilan atau prestasi seseorang dalam melaksanakan tugasnya, dalam hal ini pemain atau atlet waktu menghadapi dan melaksanakan suatu pertandingan. 2. Mencoba membahas hal-hal yang berkaitan dengan ketegangan (stress, kecemasan dan frustasi) dalam berolahraga. 3. Memberikan solusi tentang bagaimana cara menanggulangi stress, kecemasan dan frustasi. C. Manfaat 1. Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Psikologi Olahraga. 2. Sebagai media menambah pengetahuan kami selaku penulis tentang pskologi olahraga khususnya mengenai keadaan emosional seseorang / atlet. BAB II PEMBAHASAN A.DEFENISI 1. Stress Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific response of the body to any demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan “stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social. Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus lingkungan yang dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung dalam suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu. Hans Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum (General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) pada tubuh diaktifkan. Kelenjar-kelenjar tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan psikosomatik lainnya. Lazarus dan Launier (1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut : • Stage of Alarm Individu mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut. • Stage of Appraisals Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut. • Stage of Searching for a Coping Strategy Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stress tersebut berlangsung. • Stage of The Stress Response Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik mental maupun fisik. Disamping membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threatmemiliki konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya.Harm-loss digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge(tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan kerjanya menjadi positif. Dalam olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakanproses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga, maksudnyaatlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek harus yang terlibat adalahkognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan (sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang mengakibatkan stress. Madden (1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi. Latihan merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai keadaan relaks, secara logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti associative dan dissociativemerupakan strategi coping pada atlet untuk memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya (associative strategy), dan pemikiran atauperasaan yang membantu untuk mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli akan dirasakan atlet dalam pertandingan. Konsep coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi tersebutsebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik untuk digunakan. 2. Kecemasan Kecemasan (Anxiety) adalah salah satu gejala psikologis yang identik dengan perasaan negative. Beberapa ahli psikologi menjelaskan pengertian kecemasan dalam berbagai makna. Menurut Robert S. Weinberg dan Daniel Gold (2007: 78) mendefinisikan kecemasan adalah sebuah perasaan negatif yang memiliki cirri gugup, rasa gelisah, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, dan yang terjadi pergerakan atau kegairahan dalam tubuh. Kecemasan memiliki dua komponen yaitu terdiri dari kecemasan kognitif (cognitive anxiety) yang ditandai dengan rasa gelisah dan ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi, sedangkan yang kedua adalah kecemasan somatik(somatic anxiety) yang ditandai dengan ukuran keadaan fisik seseorang. Sedangkan menurut Singgih D. Gunarsa(1989: 147) mendefinisikan sebagai perasaan tidak berdaya, tekanan tanpa sebab yang jelas, kabur, atau samar-samar. Sedangkan A.Budiarjo, dkk (1987: 351) menyatakan bahwa kecemasan adalah keadaan tertekan dengan sebab atau tak ada sebab yang mengerti, kegelisahan hamper selalu disertai dengan gangguan system syarat otonom dan disertai rasa mual. Kartini Kartono (1981: 116) menyatakan bahwa kecemasan adalah semacam kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak jelas dan mempunyai cirri yang merugikan. Rita L. Atikinson (1983: 212) mengemukakan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang kita alami dalam tingkat yang berbeda-beda. Ahli lain Griest et all (1986) merumuskan kecemasan sebagai suatu ketegangan mental yang disertai dengan gangguan tubuh yang bersangkutan merasa tidak berdaya dan mengalami kelelahan karena senantiasa harus berbeda dalam keadaan waspada terhadap ancaman yang tidak jelas dan hamper selalu disertai gangguan pencernaan. Sedangkan Pahlevi (1991) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu kecendurangan untuk mempersepsikan situasi sebagai ancaman dan akan mempengaruhi tingkah laku. Handoyo (1980) menjelaskan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang dialami oleh seseorang, dimana ia merasa tegang tanpa sebab-sebab yang nyata dan keadaan ini memberikan pengaruh yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan perubahan - perubahan pada tubuhnya baik secara somatik maupun psikologis. Dari berbagai pendapat-pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu yang akan dilakukan dan belum terjadi yang ditandai dengan kekhawatiran, kurang percaya diri, kegelisahan yang kadang kala dapat mengganggu kinerja fisiologis tubuh. Kecemasan merupakan gejala psikologis yang umum terjadi dan setiap orang sadar pasti pernah mengalaminya. Kecemasan adalah suatu rasa takut, tidak aman, tak berdaya tanpa sebab yang jelas. Jadi bukan rasa takut yang disebabkan stimulis dari lingkungan individu tersebut. Kecemasan ini mungkin datangnya dari situasi-situasi yang dikhayalkan akan terjadi. Perasaan cemas dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan atlet tersebut menglami kekalahan terus-menerus. 3.Frustasi Fustasi timbul dikarenakan merasa gagal tidak dapat mencapai suatu yang diinginkan. Setiap atlet menginginkan kepuasan yaitu itu menang; dan apabila itu tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustasi. Frustasi dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun pada atlet yang memiliki sifat optimis yang sangat tinggi. Atlet yang mempunyai sifat pesimis dapat dikatakan “kalah sebelum berperang” karena atlet yang memiliki sifat pesimis ini mudah terkena frustasi sehingga mengalami kegagalan sedikit saja, diangapnya sebagai kegagalan yang akan terjadi dialami seterusnya. Sedangkan apabila atlet memiliki sifat optimis yang sangat tinggi (over confidence) maka akan sangat mudah mengalami frustasi. Kegagalan yang dialaminya akan membuat atlet tersebut kecewa serta kehilangan keseimbangan emosi. Frustasi adalah suatu harapan yang diinginkan dan kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.Misalnya putus pacar, perceraian, masalah kantor, masalah sekolah atau masalah yang tidak kunjung selesai. Frustasi inipun terjadi juga bila tujuan yang dicapai mendapatkan rintangan.Frustasi memiliki dua sisi. 1. Frustasi adalah fakta tidak tercapainya harapan yang diinginkan. 2. Frustasi adalah perasaan dan emosi yang menyertai fakta tersebut. Pada contoh diatas adalah fakta mendapatkan nilai jelek di sekolah dan mendapat marah oleh bos dalam kesalahan di kantor. Perasaan dan emosi yang muncul adalah kesal, marah dan perasaan-perasaan lainnya yang mungkin muncul. Akibat dari frustasi bisa munculkan gejala-gejala ketubuhan yang disebut psikosomatis. Bayangkan anda mendapatkan nilai atau penghargaan yang tidak sesuai dengan yang anda harapkan, padahal anda sudah berusaha dengan sebaik mungkin. Seumpama anda mendapat nilai D pada ujian akhir. Ini tidak hanya terjadi sekali saja, tetapi telah beberapa kali. Anda lalu menjadi kesal bahkan marah atau muncul perasaan-perasaan lainnya. Pada malam harinya anda tidak bisa tidur. Segudang pemikiran muncul, berputar-putar silih berganti, mulai mencari sebab-sebab kegagalan, upaya mencari jalan lain supaya lebih berhasil sampai pada pemikiran-pemikiran buruk. Sehingga nantinya akan terlintas jalan pintas dan lain sebagainya. Anda mencoba untuk mengusir pemikiran-pemikiran tersebut tapi tetap saja tidak bisa dan akhirnya anda jatuh tidur karena memang betul-betul kecapaian. Pada pagi harinya anda bangun dengan tubuh yang kurang segar karena susah tidur. Selama siang hari perasaan maupun tubuh anda akan terasa tidak enak. Sekali-kali akan teringat mengenai kegagalan pada hari sebelumnya dan itu akan muncul dan mengganggu. Namun selain contoh diatas ada juga contoh frustasi yang berakibat agresi karena frustasi yang dialami melahirkan reaksi kemarahan. Tindakan agresi diambil apabila individu merasa lebih kuat dari lawannya. Sebalinya bila individu merasa lemah, maka biasanya tindakan yang diambil ketika terjadi frustasi adalah menghindar atau melarikan diri. B. Sumber-sumber Stress, Kecemasan dan Frustasi Sumber-sumber stress, kecemasan dan frustasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut: a. Sumber Intrinsik Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semuahal ini berasal dari diri atlet itu sendiri, yaitu; o Atlet sangat mengandalkan kemampuan tekniknya. Bila atlet hanya mengandalkan kemampuan tekniknya, atlet tersebut akan mengalami kesulitan sebawatu menghadapi situasi pertandingan yang kurang menguntungkan bagi dirnya, misalnya menghadapi lawan yang ulet dan cermat sehingga lawan itu mampu mengantisipasi setiap serangan yang akan ia lakukan. Akibatnya atlet tersebut akan merasa terpepet dan selanjutnya tidak mampu lagi menguasai situasi yang sedang dihadapinya. o Atlet merasa bermain baik sekali. Bila perasaan ini menghinggapi atlet, maka akan menjadi pertanda mulai timbul sesuatu yang menekan pada dirinya. Perasaan ini memberikan beban mental pada dirinya. Demikian juga perasaan yang sebaiknya, yang seakan-akan atlet itu telah memvonis diri sendiri bahwa ia tidak akan mencapai sukses. o Adanya negative thinking karena dicemooh atau dimarahi. Dicemooh atau dimarahi akan menimbulkan reaksi pada diri atlet. Reaksi yang menekan dan menimbulkan frustasi sehingga menggangu penampilan pelaksaan tugas. o Adanya pikiran puas diri. Bila dalam diri atlet ada pikiran atau perasaan puas diri maka ia telah menanamkan benih-benih ketegangan dalam diri sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan suatu yang mungkin berada diluar kemampuannya. Bila demikian keadaannya, sebenarnya atlet itu telah menerima tekanan yang tidak disadari. b. Sumber Ekstrisik Sumber Stress, kecemasan dan frustasi dari dalam maksudnya semua hal ini berasal dari diri atlet itu sendiri, yaitu; o Rangsangan yang membingungkan. Salah satu bentuk rangsangan yang membingunkan adalah komentar para official yang merasa berkompoten, baik atas koreksi, strategi atau tektik yang harus dilakukan maupun petunjuk yang lain kepada atlet. Menerima beberapa petunjuk dan perintah sekaligus akan membingungkan atlet. o Pengaruh massa. Massa penonton terlebih yang masih asing, dapat mempengaruhi kestabilan mental atlet. Penonton juga memainkan peranan yang sangat berarti dalam suasana pertandingan. Salah satu cirri massa (penonton) adalah emosi yang labil. Begitu mereka mengalami kekecewaan, maka mereka akan menunjukan tindakan yang agresif berupa cemoohan terhadap atlet. Disamping pengaruh yang merugikan itu adapun pengaruh massa yang dapat membangkitkan semangat dan percaya diri, sehingga dalam situasi yang kritis atlet merasa seakan-akan mendapat “angin”, yang lalu berangsung-angsur ia mampu menguasai keadaan dan menunjukan penampilan yang lebih baik. o Saingan yang bukan tandingannya. Pemain atau atlet yang mengetahui bahwa lawan yang akan dihadapi adalah pemain peringkat diatasnya atau lebih unggul daripada dirinya, maka dalam hati kecil atlet atau pemain tersebut telah timbul pengakuan akan ketidak mampuannya untuk menang. Situasi tersebut akan menyebabkan berkurangnya kepercayaan pada diri sendiri. Setiap kali berbuat kesalahan, ia semakin menyalahkan diri sendiri. o Kehadiran/ketidak hadiran pelatih Atlet yang mempunyai hubungan personal dengan pelatih akan mengharapkan kehadiran pelatih selama ia bertanding. Tidak hadirnya pelatih yang sebenarnya sangat menguntungkan bagi penampilan bagi atlet tersebut. Hal ini disebabkan karena atlet merasa tidak ada orang yang dapat member dukungan pada saat-saat yang ia perlukan. Dengan support tersebut atlet akan merasa mampu menghadapi dan mengatasi situasi-situasi yang penting. Sebaliknya, ada atlet yang tidak senang akan kehadiran pelatih selama ia bertanding. Dalam hal ini pelatih harus cepat memahaminya, ahar tidak menimbulkan perasaan yang mengganggu pada diri atlet. C. Cara Penanggulangan Teknik-teknik untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi stress, kecemasan serta frustasi yaitu sebagai berikut: a. Teknik Intervensi o Konsentrasi (Pemusatan perhatian) Cara ini pertama-tama menyingkirkan aneka ragam pikiran yang mengganggu atlet dan hanya memusatkan seluruh perhatian dan pikiran pada tugas yang sedang dihadapi. Memang ada atlet yang mampu dengan cepat menghalau berbagai pikiran yang mengganggu perhatian dan konsentrasinya pada pertandingan yang sedang dihadapinya, namun tidak sedikit atlet yang begitu lama termakan oleh gangguan pikirannya. o Pengaturan pernapasan Pada orang yang mengalami ketegangan atau kecemasan serta respirasi akan meninggi. Keadaan seperti ini dapat diatasi dengan pernapasan yang dalam dan pelan, sehingga irama pernapasan yang semula cepat atau meninggi secara berangsur-angsur melambat atau menurun. Mengatur pernapasan juga merupakan usaha penenangan diri. o Relaksasi otot secara progresif Caranya adalah melakukan kontraksi otot secara penuh kemudian dikendurkan. Latihan ini dilakukan secara berulang-ulang selama kurang lebih 60 menit. Bila otot-otot telah mencapai keadaan rileks yang sungguh-sungguh, maka keadaan ini akan mengurangi ketegangan emosional juga menurunkan tekanan darah serta denyut nadi. Karenanya pada saat-saat tengan, orang sedapat mungkin memusatkan perhatiannya pada relaksasi otot dengan cara seperti diatas (S. horn;1986) b. Mencari sumber stress, kecemasan dan prustasi itu sendiri. Disini peran pelatih besar sekali. Hubungan hati-kehati antara atlet dan pelatih akan memungkinkan pelatih mengorek apa yang sebenarnya sedang dialami oleh atlet. Demikian atlet juga akan dengan terbuka menceritakan apa yang sedang dialami. c. Pembiasan/berlatih Cara ini dimaksudkan untuk melatih atlet menghadapi situasi-situasi yang bisa timbul dalam pertandingan. Bentuk paltihan pembiasaan adalah dengan simulasi. Yaitu dalam latihan sengaja diabut situasi yang dapat menimbulkan ketengangan dalam batas-batas tertentu. Dengan cara ini atlet tidak lagi peka (sensitif) terhadap pengaruh lingkungan. o Berlatih dalam gedung dengan pentilasi yang kurang baik sehingga sirkulasi udara didalamnya sangat menggangu. o Berlatih dilapangan dengan kondisi yang berbeda-beda, misalnya; permukaan tidak rata, licin, terbuat dari bahan sintetis dan sebagainya. o Berlatih dengan berbagai alat yang berbeda kualitasnya, misalnya berbagai merek shuttlecock, bola volley, bola basket, bola tennis. o Berlatih dialam (daerah) dengan cuaca atau suhu yang berbeda-beda, misalnya; didataran dengan lapisan udara yang tipis atau didataran tinggi, didaerah dengan panas yang menyengat dan sebagainya. o Berlatih dalam rungan dengan sistem penerangan yang kurang memenuhi sarat. d. Teknik-teknik khusus. Penangan ketegangan dengan menggunakan teknik khusus itu lebih menekankan pada pendekatan individual, misalnya; o Melalui music yang menjadi kegemaran atlet yang sedang mengalami ketegangan atau kecemasan. o Menanamkan dan memperkuat keyakinan atlet bahwa persiapan yang mereka lakukan sudah mantap dan menyeluruh. o Menjauhkan atlet dari official yang pencemas. o Menjelaskan kepada atlet bahwa ketegangan/kecemasan dalam pertandingan adalah wajar. Bahkan dalam batas-batas tertentu hal itu memang diperlukan. D. Stress, Kecemasan dan Frustasi dalam Pertandingan Menurut scanlan (1984) dalam tulisnya yang berjudil: “kompetitif stress and the child atlet” yang dimuat dalam buku “psikologikal foundation of sport” mengemukakan bahwa “competitive stress” atau stress yang timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emoasional yang negative pada anak apabila rasa harga dirinya menrasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet lebih memikirkan akibat dari kekalahannya. Stress selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat tantangan sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhrinya berpengaruh terhadap proses-proses psikologis maupun proses fisiologik. Spielberger (1986) dalam tulisnya mengenal “stress & Anxiety in sport” dalam kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh morgan berjudul “sport psychology” menegaskan bahwa stress menunjukan “psychological proses” yang kompleks, dan proses ini pada umumnya terjadi dalam situasi yang mengandung hal yang dapat merugikan, berbahaya, atau dapat menimbulkan frustasi (streesor). “Stressor” menurut Spielberger (1986) menunjukan situasi-situasi atau stimuli yang secara objrktif ditandai dengan adanya tekanan fisik atau psikologi atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. Situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia. Reaksi yang berbeda akan muncul dalam menghadapi “stressor”, tergantung pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya dengan aktifitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi pertandingan maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada diri atlet yang bersangkutan. Mengenai timbulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan: 1. “Because stress is an inevitable part of life, it can’t be a volded”. 2. “Since stress is inevitable individual must reduce it’s effect and cope through”. 3. “Chronic stress may have adverse effect you upon the body particularly if it isn’t thought to relax” Mungkin sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai ancaman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan. Namun jikalau hal itu tidak dapat segera diatas dan malah semakin menggangu atlet itu sendiri maka apa yang dicemaskan akan menjadi nyata dan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan emosi. Keadaan seseorang yang kehilangan keseimbangan emosi biasanya mengarah pada ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengatahui hahwa atlet tersebut sedang mengalami emosi. Namun demikan kadang-kadang ada atlet yang dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (Carrson ; 1987) yang dikenal dengan Display rules. Menurut mereka adanya 3 rules yaitu Masking, modulation dan simulation. Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi kejasmaniannya. Misalnya seorang atlet yang sangat sedih dikarenakan kehilangan gelar yang semsetinya dapat dia raih. Kesediahan itu dapat diredam atau ditutupi, dan tidak ada gejala kejasmanian yang menyebabkan tampaknya rasa sedih tersebut. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Jadi misalnya karena sedih, ia menangis (gejala kejasmanian) tetapi tangisnya itu tidak begitu mencuat-cuat. Pada simulasi (simulation) orang tidak mengalami emosi, tatapi dia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala kejasmanian. BAB III PENUTUP A.Kesimpulan Dari pembahasan diatas maka kami menarik kesimpulan yaitu sebagai berikut: Olahraga adalah suatu kegiatan yang bukan saja bersifat jasmaniah, melainkan merupakan kegiatan sebagai suatu totalitas; Dalam diri seorang atlet terdapat faktor-faktor psikologis yang mendukung atau menghambat penampilan atlet itu sendiri. Stress, kecemasan dan frustasi merupakan keadaan yang selalu mencul kepermukaan ketika menghadapi even yang kopetitif. Pelatih mempunyai peranan penting dalam menjaga kondisi psikologis atlet. B.Saran Dari pembahasan dan kesimpulan diatas maka kami memberikan saran yaitu sebagai berikut: 1. Mengingat semakin kerasnya even olahraga yang semakin kompetitif, setiap atlet harus dapat meningkatkan kemampuan tAknik dengan dibarengi oleh bekal psikologis yang memadai. 2. Agar pembekalan psikologis itu efektif maka lingkungan yang ada di sekitas atlet harus dapat mendukung keberadaan atlet itu sendiri. 3. Untuk mengatasi stress, kecemasan dan frustasi, atlet harus dapat beradaptasi dengan lingkungan pertandingan itu sendiri, serta didukung oleh faktor-faktor penunjang lain. DAFTAR PUSTAKA Gunarsa, Singgih dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Nasution, Noehi dkk. 1992. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Payitno, Elida. 1991. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Depdikbud. Sutyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Jakarta: Copyright. Wargito, Bimo. 1989. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andy Yogyakarta Orlick, Terry. (1998). How to Manage Stress. USA: Mind Tool Ltd. Satiarsiatun (2003). Hubungan Self-Esteem, Motivasi Berprestasi dengan Coping Stress: Tesis. Tidak Diterbitkan. Scanlan, T.K. Stein, G.L., & Ravizza, K. (1991). An in-depth Study of Former Elite Figure Skaters: III Sources of Stress. Journal of Sport & Exercise Psychology, 13, 102-120. Atikison L. Rita, dkk (1983). Pengantar psikologi. Jakarta : Erlangga. Kartini Kartono. (1981). Gangguan-gangguan Psikologi Olahraga. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Singgih D. Gunarso. (1996) Psikologi Olahraga Teori dan Praktek. Jakarta: Gunung Mulia. Agresivitas dalam olahraga Agresivitas, Perilaku Agresif Serta Pengendalian Agresivitas Dalam Olahraga Oleh Guntur Firmansyah (Prodi Pend.Jas.Kes.& Rekreasi, FPIEK, IKIP BUDI UTOMO, Malang) Abstrak : Sifat agresif hanyalah merupakan salah satu sifat dari individu. Kecenderungan sifat agresif pada pemain menjadi tindakan yang positif dan dibutuhkan untuk memenangkan pertandingan atau bisa sebaliknya bisa merusak dan menjadi tindakan destruktif, sangat bergantung dari sifat-sifat dan kepribadian lainnya yang ada pada indivdu tersebut. Kata Kunci : Agresif, individu, destruktif Pendahuluan Agresifitas adalah istilah umum yang di kaitkan dengan adanya perasaan –perasaan marah atau permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan secara fisik, verbal maupun menggunakan ekpresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan. Tindakan agresif pada umumnya merupakan tindakan yang di sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada 2 tujuan utama agresif yang saling bertentangan satu dengan yang lain, yakni untuk membela diri di satu pihak dan di pihak lain adalah untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya. Agresifitas yang wajar. T idak setiap tindakan agresif merupakan perilaku yang bermasalah. Agresif mungkin muncul sebagai pelampiasan perasaan marah dan frustasi. Bila agresifitas muncul karena kondisi psikologis yang bersifat temporer dan dipahami berdasarkan konteks situasi yang dihadapi anak maka itu merupakan tindakan yang masih bisa diterima. Justru ketidakmampuan seorang anak untuk mengekspresika dorongan agresif pada situasi-situasi tertentu merupakan indikasi adanya permasalahan perkembangan pada dirinya. Mungkin itu merupakan akibat dari mekanisme hambatan yang berlebihan yang secara psikologis tidak terlalu sehat untuk perkembangan selanjutnya. Agresifitas yang tidak wajar. Namun ada kecenderungan agresifitas yang bersifat menetap pada anak tertentu. Secara umum kecenderungan ini menandakan kepribadian yang agresif. Ini menandakan kepribadian yang agresif merupakan perkembangan kepribadian. Dampak negatif pada diri sendiri dan pada lingkungan cukup serius. Upaya untuk mendefinisikan agresif telah banyak dilakukan oleh para ahli. Sebagian dari definisi tersebut dapat dirangkumkna bahwa agresivitas adalah beberapa bentuk atau serangkaian perilaku yang bertujuan untuk membahayakan atau mencederai orang lain(Dolar, Miller, Do’ob, Mourer & Sears, 1939; Boron, 1991). Definisi agresif seperti itu sering digunakan interchangeably dengan istilah hostility pada satu sisi, padahal sebenarnya sangat berbeda dari segi maknawi dengan istilah asertif atau agresif sebagai tindakan yang sering muncul pada praktik olahraga disisi yang lain yang justru dibutuhkan untuk menampilkan keterampilan secara efektif dalam kompetisi olahraga. R. H. Cox (1985) mengelompokkan tindakan agresif kedalam dua kategori. Pertama,Hostility Aggresion yaitu tindakan agresif yang disertai permusuhan dan dilakukan dengan perasaan marah serta bermaksut melukai orang lain atau lawan bertanding (Marcoen, 1999). Kedua, Instrumental Aggresion, yaitu perilaku agresif yang dijadikan sebagai alat untuk memenangkan pertandingan, tanpa bermaksut melukai orang lain atau kawan bertanding. Rujukan teori yang dapat digunakan untuk memahami tentang agresivitas adalah Teori Naluri (Instinc Theory).Teori Agresif-Frustasi (Frustration-Aggresion Theory) dan Teori Belajar-Sosial (Social-Learning Theory). Teori Naluri (Instinc Theory). Teori ini berpijak dari tulisan Sigmund Freud dan Konrad Lorenz, menurut Freud (1950) Teori ini menyatakan tindakan agresif dipandang sebagai dorongan yang dibawa sejak lahir seperti halnya dorongan seksual dan rasa lapar.Teori Agresif-Frustasi (Frustration-Aggresion Theory) (Dolar, Miller, Do’ob, Mourer & Sears, 1939) Teori ini menyatakan bahwa frustasi selalu menyebabkan tindakan agresif dan sebaliknya keagresifan selalu disebabkan oleh frustasi.Teori Belajar-Sosial (Social-Learning Theory) Teori yang digulirkan Bandura (1989) ini berpandangan bahwa tindakan agresif adalah adalah sebuah respon atau perilaku yang dapat dipelajari, bukan karena adanya dorongan naluriah maupun frustasi. Selanjutnya Bandura (1989) menyebutkan bahwa tundakan agresif menunjukkan“circular effects” yang artinya bahwa tindakan agresif akan mendorong tindakan-tindakan agresif lainnya. Perilaku Agresif dalam Olahraga Orang yang agresivitasnya kurang terkontrol kemungkinan lebih besar melakukan tindakan kriminal kekerasan, karena ia tidak bimbang melakukan kekerasan pada waktu marah. Dalam upaya memahami agresivitas, Worchel dan Cooper (1970) mengemukakan kasus Charles J. Whitman pada usia 12 tahun ia adalah pandu garuda, kemudian menjadi pitcher time base ball disekolah gereja dimana dia bergabung. Ia dikenal sebagai pemuda yang menyukai anak-anak kemudian menjadi mahasiswa jurusan teknik arsitektur. Dilaporkan oleh majalah Newsweek, pada tanggal 5 Agustus 1966.Ia telah membantai 13 orang dan melukai 31 orang di menara Universitas Texas dengan senjata revolver sebelum ditembak oleh polisi. Whitman sebelumnya telah membunuh isteri dan ibu kandungnya. Perlu diketahui bahwa Whitman dibesarkan dalam keluarga yang diliputi situasi penuh ketegangan, Ayahnya seorang perfeksionis, dan berdisiplin serta selalu menuntut anaknya mengerjakan sesuatu yang besar, serta tidak jarang member hukuman apabila anaknya tidak menurut. Dari kasus diatas bias dilihat bahwa Whitman memiliki kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketat, dapat diduga bahwa ia selalu mengontrol tingkah laku namun selama itu rasa marah dan kecewa terus berkembang dalam dirinya sehingga tidak terkendali dan akhirnya meledak yaitu dalam bentuk tindakan ekstrim berupa kekerasan. Lebih lanjut Worchel dan Cooper membedakan dua tipe kepribadian yaitu (1) yang agresifitasnya kurang terkontrol dan (2) yang agresivitasnya selalu dikontrol dengan ketet.ipe kepribadian yang agresivitasnya kurang terkontrol menunjukkan kurangnya larangan terhadap pengungkapan tingkah laku agresif dan kecenderungan untuk mengadakan respons terhadap frustasi dan tindakan agresif.Tipe kepribadian yang agresivitasnya selalu dikontrol ketat, menunjukkan adanya kontrol yang ekstrim kuat terhadap pengungkapan agresivitas dalam berbagai kondisi. Tindakan agresif cenderung terjadi pada situasi yang tidak seimbang atau berlawanan.Pada atlet umumnya terikat pada beberapa kelompok social, seperti keluarga, sekolah, teman latihan, teman bergaul dan sebagainya. Tindakan agresif akan tertuju pada orang yang tidak disenangi atau yang berlawanan. Misalnya atlet dimarahi oleh pelatihnya dia tidak berani melawan pelatihnya tetapi dia akan bertindak agresif dengan menyerang temannaya atau lawannya. Pemain yang agresif pada situasi tertentu sangat diperlukan untuk dapat memenangkan pertandingan.Seperti dalam sepak bola, bela diri dan sebagainya.Tetapi sifat-sifat agresif tersebut apabila tidak terkendali justru dapat menjerumuskan dan mengarah pada tindakan-tindakan berbahaya misalnya melukai lawan, melanggar peraturan serta mengabaikan sportivitas.Niat untuk menyerang secara agresif tidak disertai rasa marah.Tindakan agresif demikian jelas bukan disebabkan oleh karena frustasi. Tindakan agresif yang bukan karena frustasi diantaranya dapat terjadi berupa gejala-gejala : 1. Tindakan agresif instrumental Tindakan agresif yang tidak disertai rasa marah. 2. Tindakan agresif karena meniru Misalnya tindkan agresif karena meniru tokoh gangster yang suka menyerang dan melukai orang lain. 3. Tindakan agresif atas dasar perintah Sering terjadi dalam olahraga bela diri misalnya karena inisiatif menyerang akan mendapat penilaian lebih dari wasit. 4. Tindakan agresif dalam hubungannya dengan peran sosial Dapat dilihat pada tindakan agresif yang dilakukan penjaga keamanan yang harus bertindak tegas dan jika perlu dengan kekerasan. 5. Tinddakan agresif karena pengaruh kelompok Pengaruh penonton atau tim juga dapat merangsang dan menimbulkan gejala agresif. Tindakan agresif pemain karena pengaruh penonton sering terjadi. Hal ni dapat dilihat bagaimana tindakan dia sebagai bagian dari kelompok dan tindakan dia manakala dia bertindak sendiri. Dari uraian tersebut maka dapat dikemukakan bahwa tindakan agresif seseorang atau atlet tidak harus dihubungkan dengan gejala frustasi.Kita membutuhkan pemain yang agresif untuk dapat memenangkan suatu pertandingan.Oleh karena itu, menjadi kewajiban pembina dan pelatih untuk memanfaatkan sifat-sifat agresif dari atletnya sehingga dapat tersalur dan terarah sesuai dengan aktivitas olahraga yang diikutinya. Pengendalian Agresivitas dalam Olahraga Sifat agresif yang dimiliki pemain yang juga memiliki kesetabilan emosional, disiplin, rasa tanggung jawab yang besar, tidak akan menjadi masalah dalam pengarahannya. Pelatih dapat menyiapkan atlet tersebut untuk bermain agresif dengan tidak perlu khawatir bahwa ia akan melukai lawan dan bertindak desttruktif dalam upaya untuk mencaoai tujuan atau memenangkan pertandingan. Dengan memberikan dorongan, pemberian stimulus yang positif dan sebagainya. Atlit akan bermain agresif tanpa mengalami frustasi. Bertitik tolak dari “social-learning Theory”yaitu pemain akan meniru dan belajar dari pengalaman pemain lainnya maka pelatih harus menyiapkan pemain dengan petunjuk dan langkah praktis sebagai berikut : 1. Anjuran untuk bermain agresif harus terarah, kapan da bagaimana cara yang tepat agar tidak menimbulkan hal-hal negative dan melukai lawan. 2. Bermain agresif harus disertai peningkatan penguasaan diri agar dapat selalu mengontrol diri sendiri. 3. Bermain agresif harus disertai disiplin dan rasa tanggung jawab, yaitu selalu mematuhi peraturan dan tunduk pada keputusan wasit serta dapat mempertanggungjawabkan tindakannya. 4. Perlu adanya pemberian penghargaan bagi mereka yang bertindak agresif tetapi tidak melukai lawan, memelihara sportivitas dan sebaliknya berikan hukuman apabila berusaha melukai lawan atau tindakan tercela dan melanggar peraturan. Dalam upaya mengendalikan tindakan kekerasan atau agresivitas yang menyimpang, dikemukakan Richard H. Cok sebagai berikut : 1. Atlet-atlet mudah harus sudah diberi pengetahuan tentang contoh tingkah laku non agresif, penguasaan diri, dan penampilan yang benar. 2. Atlet yang terlibat tindakan agresif harus dihukum. Harus disadarkan bahwa tindakan agresif dengan melukai lawan adalah tindakan yang tidak dibenarkan. 3. Pelatih yang memberi kemungkinan para atlet terlibat dengan kekerasan harus ditelitih dan harus dipecat dari tugasnya sebagai pelatih. 4. Pengaruh dari luar yang memungkinkan terjadinya tindakan agresif dengan kekerasan dilapangan pertandingan harus dihindari. 5. Para pelatih dan wasit didorong dan dianjurkan untuk menghindari lokakarya-lokakrya yang membahas tindakan agresif dn kekerasan. 6. Disamping hukuman terhadap tindakan agresif dengan kekerasan atlet harus didorong secara positif meningkatkan kemampuan bertindak tenang menghadapi situasi-situasi emosional. 7. Penguasaan emosi menghadapi tindakan agresif dengan kekerasan harus dilatih secara praktis antara lain melalui layihan mental Simpulan dan Saran Semua orang mengerti bahwa tindakan agresif, adalah tindakan yang tidak terpuji, maka orany yang memiliki keperibadian yang kuat tidak mudah untuk dipengaruhi untuk berbuat agresif. Mereka yang mengalami “emotional enstability“ atau ketidakstabilan emosi, karena perasaan marah dan perasaan negatif lainnya mudah dipengaruhi, dan mudah mendominasi perasaan yang lainnya. Individu yang memilikiemotional instability yang tidak mudah marah, mudah benci, mudah kecewa, mudah bingung, mudah kesal, dsb. Karena emosinya mudah terombang ambing, maka gejala emosional tersebut akan mengganggu fungsi jiwa yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa jiwa kita merupakan kesatuan yang organis, dimana sumber kemampuan jiwa yang satu dapat mempengaruhi sumber kemampuan jiwa yang lain. Karena itu goncangan emosional akan mempengaruhi pertimbangan akal, sehingga individu tersebut akan bertindak tidak sesuai dengan akal sehat. Individu yang menunjukkan gejala kematangan emosional atau “emotional maturity ” dapat meredam goncangan-goncangan emosional sehingga dapat tenang, dan dapat menjalankan fungsi akalnya dengan baik.Secara umum, individu yang memiliki kemarahan tinggi tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan angina atau serangan jantung dibandingkan orang yang memiliki kemarahan rendah, bahkan setelah pengaruh berisiko seperti faktor genetik, alkohol, berat badan, kolesterol, hipertensi dan merokok diperhitungkan pada rendah -kemarahan individu. Hal ini mencerminkan pengalaman banyak psikolog dan dokter yang menemukan korelasi langsung antara risiko kesehatan secara keseluruhan dan kemarahan intens.Secara umum, individu yang memiliki sikap bermusuhan berisiko tinggi menderita penyakit lain juga.Hal ini terjadi karena alasan seperti kesenangan untuk perilaku berisiko dan peningkatan aktivitas biologis ketika sangat marah dan mengalami dukungan sosial yang rendah. Suasana kompetisi dan kelas pendidikan jasmani dan olahraga kerap kali menjadi media potensial yang mendorong perilaku terjadinya perilaku agresif. Perilaku ini dalam kadar yang sesuai sangat perlu dimiliki oleh para pemain untuk dapat memenangkan pertandaingan misalnya pertnadingan sepak bola, tinju dan lain-lain. Tetapi jika berlebihan dan tidak terkendali dapat menjurus pada tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, berbahaya, mencederai lawan, melanggar peraturan, tidak fair play, bahkan dapat berakibat fatal. Tindakan agresif tidak sama peluangnya pada setiap cabang olahraga dan setiap atlet. Beberapa rekomendasi untuk upaya mengendalikan agresifitas antara lain : a) Teknik time out. b) Memberikan pemahaman dan contoh perilaku non agresif sebagai metode konstruktif untuk memecahkan masalah. c) Menciptakan atau mendesain lingkungan belajar atau lingkungan latihan yang kondusif. d) Memberikan latihan empati.

emosi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Dalam kehidupan banyak sekali permasalahan, dalam berita-berita banyak dikabarkan orang masuk bui hanya karena tidak dapat menahan emosi. Pemukulan, adu fisik dan bahkan pembunuhan. Tidak jarang kita juga mendengarkan berita-berita yang beredar dalam dunia olahraga tentang tawuran antar pemain sepakbola, pemukulan terhadap wasit sehingga insan olahraga yang seharusnya menjunjung rasa sportifitas yang tinggi harus menerima sangsi hingga larangan untuk bermain. Alangkah sayangnnya permasalah itu timbul hanya karena masalah sepele dan emosi yang meluap-luap. Beberapa kejadian buruk diakibatkan karena emosi, sungguhnya emosi sendiri itu apa? Apa dampak positif dan negatif emosi dalam dunia olahraga? Dan bagaimna cara melakukan pengelolaan emosi untuk mampu meraih sebuah prestasi? Untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pada bab berikut tentang apa definisi emosi, dampak emosi dalam olahraga dan bagaimana pengelolaan emosi itu. 1.2 Rumusan Masalah Untuk mempermudah dalam pembahasan nanti maka perlu dirumuskan terlebih dahulu masalah-masalah pokok yang akan dibahas kemudian. Adapun rumusan masalah yang akan diangkat dalam laporan ini adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan emosi? 2. Apa pengaruh-pengaruh positif dan negatif dari emosi dalam kegiatan olahraga? 3. Bagaimana pengendalian emosi untuk meraih prestasi? 1.3 Tujuan Sebagaimana kegiatan-kegiatan laporan yang lain, laporan ini memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Dengan tujuan-tujuan tersebut maka hasil laporan akan lebih terarah dan lebih sistematis. Dalam laporan ini, penulis ingin mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahuiapa yang dimaksud dengan emosi. 2. Untuk mengetahui pengaruh-pengaruh positif dan negatif emosi dalam olahraga. 3. Untuk mengetahui bagaimana pengendalian emosi dalam meraih prestasi. 1.4 Manfaat 1. Untuk Siswa Dengan adanya makalah ini diharapkan siswa dapat lebih mengetahui wawasan dan pengatahuan mengenai psikologi khususnya emosi yang hubungannya dengan prestasi olahraga 2. Untuk Guru Sehubungan dengan adanya makalah ini diharapkan guru khususnya guru pendidikan jasmani dapat memperdalam lagi tentang psikologi siswanya sehingga tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana dengan baik. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Emosi Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995) Dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang definisi emosi adalah suatu tindakan/respon dari rangsangan luar dimana keadaan fisiologis dan psikologis tidak dalam keadaan seimbang. Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati. b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa. c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri. d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga. e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih. f. Terkejut : terkesiap, terkejut. g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka. h. Malu : malu hati, kesal Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi). Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu tindakan/respon dari rangsangan luar ataupun dalam dimana keadaan fisiologis dan psikologis tidak dalam keadaan seimbang 2.2 Pengaruh Positif dan Negatif dari Emosi 2.2.1 Sifat dan Fungsi Emosi Menurut beberapa ahli sifat dan fungsi emosi antara lain dijelaskan sebagai berikut: 1. Emosi memegang peranan penting bagi kehidupan sehat, ekspresi diri, kepemimpinan, dan perkembangan nilai-nilai. 2. Emosi memperkaya dan mengisi arti kehidupan bagiindividu. Tetapi kalau emosi terlalu menguasai individu akan berakibat tampaknya tingkah laku yang irrasional, yang akan menyebabkan penganalisaan yang tidak teliti. 3. Emosi mempengaruhi cara kerja kelenjar-kelenjar yang akibatnya seluruh pribadi dapat terpengaruh baik yang menyangkut cara-cara berfikir, bertindak dalam mengambil suatu keputusan, dan juga sikap mental. 4. Emosi dapat dirasakan tanpa diketahui dimana tempatnya. Kalau kita pelajari fungsi dan sifat emosi tersebut di atas, maka tidak mengherankan kalau tindakan seseorang itu juga diwarnai oleh emosi di samping oleh pertimbangan-pertimbangan pikir dan akalnya. Yang menjadi persoalan sekarang adalah sampai beberpa jauh emosi itu dapat memberikan pengaruh-pengaruh positif dan negtif ? 2.2.2 Dampak positif emosi Dampak positif emosi ini sangat tergantung kepada pribadi dan pengalaman-pengalaman seseorang. Pengalaman akan banyak mempengaruhi perkembangan emosi baik yang bersifat memupuk, menghambat, dan mematikan. Semakain banyak pengalaman seseorang didasari oleh pengertian dan kemauan untuk mempelajari pengalaman-pengalaman yang dialami. Jelas akan memberikan pengaruh yang positif terhadap tindakan-tindakan berikutnya, mereka akan lebih mampu mengendalikan emosi dalam batas-batas yang diinginkan. Mereka akan dapat memanfaatkan dorongan emosi tanpa menggangu pelaksanaan suatu tindakan. Begitu pula dalam dunia olahraga, pengendalian emosi sangat menentukan dalam pencapaian prestasi.Di dalam dunia olahraga cukup banyak rangsangan-rangsangan yang dapat memacu perkembangan emosi. Sarat mutlak tergeraknya emosi adalah adanya rangsangan.Sedangkan rangsangan-rangsangan dapat menimbulkan emosi kalau rangasangan dapat menggerakkan dorongan-dorongan individu.Beberapa jauh efek rangsangan tersebut terhadap emosi sangat tergantung paa sifat dan tempramen serta keadaan individu itu sendiri, di samping juga bergantung pada keteraturan dan kekuatan rangsangan yang memacu emosi tersebut.Pengertian dan pengalaman terhadap situasi sesaat ikut menentukan pula. Di dalam kegiatan olahraga, pengalaman bertanding sangat menentukan bagi perkembangan emosi.Dengan bertanding olahraga para olahragawan selalu dapat rangsangan-rangsangan emosi yangb beraneka ragam, baik yang datang dari penonton, lawan bertanding ataupun wasit, dan sebagainya. Kadang rangsangan-rangsangan ini terlalu kuat bagi olahragawan yang lain. Adalah paling baik apabila rangsangan tersebut mampu merangsang emosi setinggi-tingginya tanpa menimbulkan gejala-gejala over stimulus, sehingga olahragawan tersebut dapat bertindak dengan semangat yang tinngi tanpa kehilangan pertimbangan pemikiran dan akalnya.Hal inilah yang harus diusahakan oleh seorang pelatih meskipun agak sulit. Kepekaan emosi tidaklah sama. Setiap olahragawan mempunyai kepekaan emosi yang berbeda-beda tergantung pada kekayaan pengalaman, pengertian, pengetahuan terhadap situasi sesaat dan masih banyak lagi hal-hal yang ikut mempengaruhinya. 2.2.3 Dampak negatif Dalam kondisi-kondisi tertentu dalam suatu pertandingan atau perlombaan dalam olahraga seperti rasa lelah, ejekan penonton, angka lawan di atas kita dan lainya. Mungkin olahragawan akan mudah sekali menjadi tersinggung, marah-marah, kesal, dan tidak bisa berfikir lagi dengan tenang. Akhirnya tindakan-tindakannya didominasi oleh emosi kemarahannya dibandingankan dengan pertimbangan-pertimbangan akal dan pikirannya. Emosi yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh negatif dalam olahraga antara lain adalah sebagai berikut : a. Gelisah Gelisa adalah gejala takut atau dapat pula dikatakan saraf takut yang masih ringan. Biasanya rasa gelisah ini terjadi pada saat-saat menjelang pertandingan akan dimulai. Rasa gelisah akan terjadi apabila seseorang itu belum mengalami apa yang akan dilakukanya atau dapat pula terjadi oleh misalnya ketidak mampuan terhadap apa saja yang akan dikerjakan atau mungkin adanya rasa “sentiment”, kebingungan atau ketidak pastian. Rasa gelisa akan berubah menjadi menggembirakan manakala penyebab rasa gelisah (pertandingan akan dimainkan) tertunda pelaksanaannya. Bagaimana cara untuk menghindari atau mengurangi timbulnya kegelisahan? Cara yang baik adalah dengan jalan merasionalisasi emosi, yaitu segala hal yang negative dianggap positif. Hal-hal demikian dapat dilatihkan, yaitu dengan membiasakan untuk: 1. Merumuskan persoalan-persoalan yang sebenarnya merupakan sebab kegelisahan secara jelas. 2. Memperhitungkan segala kemungkinan yang menjadi akibatnya sejak yang paling ringan sampai pada yang paling berat atau paling jelek. 3. Membuat persiapan untuk menghadapi setiap kemungkinan yang biasanya terjadidengan segala rumus pemecahanya baik oleh diri sendiri maupun dengan orang lain. 4. Menghadapi persoalan-persoalan dengan rasa siap dan tabah dan serta percaya pada kemampuan diri sendiri. Dengan cara-cara tersebut di atas dapat diharapkan kegelisahan yang menjangkiti para olahragawan sedikit demi sedikit bisa dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan. b. Takut Hampir semua orang mempunyai pengalaman-pengalaman yang menentukan. Takut biasanya berakar pada pengalaman sebelumnya atau pada masa-masa lampau yang pengaruhnya pada tingkah laku dan kepribadian seseorang yang membekas sepanjang hidupnya. Takut banyak macam-macamnya, misalnya takut pada binatang, takut sendirian takut jika berada di depan orang banyak, takut pada timbulnya cidera dan sebagainya. kegelishan yang menjngkit pada atlit dapat berubah menjadi ketakutan apabila tidak mendapat penyelesaian yang sebaik-baiknya. Rasa takut dapat member pengaruh yang negative atau positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Dlam batas-batas yang masih normal rasa takut akan member pengruh yang positif, karena dengan rasa takut tersebut seseorang akan lebih berhati-hati terhadap apa yang ditakutinya, misalnya saja dia jadi lebih siap atau sebaiknya mungkin dia lebih baik menghindari. Rasa takut lebih baik jangan dihindari sama sekali, tetapi dikendalikan.misalnya seorang atlit yangtidak memiliki ketakutan terhadap kekalahap keklahan dalam pertandingan yang akan diikuti. Ia akan berbuat apa yang dikehenakiny, akhirnya ia akan tersesat oleh perasaan “kalah ya biar”.usaha yang kira-kira dirasa terlalu berat untuk meraih keunggulan nilai, cenderung untuk tidak dilaksanakan, karena dipandang terlalu menghabiskan tenaga disamping juga sikap berhati-hati juga menjadi berkurang. Konsentrasi menjadi buyar dan usaha-usaha untuk mencari kelemahan- kelemahan lawan tidak ada lagi. Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang anak yang sama sekali tidak takut jatuh dari pohon, maka sikap hati-hati waktu memanjat pohon akan berurang kalau dibandingkan dengan anak-anak yang takut jatuh. Begitu pula anak yang tidk takut jatuh dri sepeda motor, akan lebih berani dan terlalu berani sewaktu mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi yang kadang-kadang tidak memikirkan kemungkinan adadanya kecelakaan yang dapat ditimbulkan akaibat perbuatannya. Rasa takut juga tidak boleh ditanamkan sehingga menyebabkan orang sama sekali tidak berani mengambil resiko, akhirnya orang tersebut terlalu berhati-hati, terlalu banyak perhitungan yang kadang-kadang yang tidak diperlukan.akibatnya orang tersebut tidak pernah mau mencoba dan berusaha untuk mengatasi ketakutannya yang timbul. Yang paling baik adalah kalau takut dikendalikan, artinya tidak ditahan, tetapi juga tidak dihilangkan sama sekali. Hal ini memang sulit sampai seberapa jauh takut itu harus dikendalikan, karena kalau salah cepat menjadi hobi. Dalam dunia olahraga rasa takut kalah di dalam batas-batas normal adalah baik, karena dengan demikian seseorang akan mempersiapkan diri untuk menghindari kekalahan. Melatih diri, berusaha mencari kelemahan-kelemahan lawan, penghematan tenaga / penghematan penghamburan tenaga yang tidak perlu dan sebagainya. Jadi sekali-sekali jangan menartikan pengendalian rasa takut sama dengan menanamkan rasa takut. Menurut beberapa pendapat yang dikumpulkan oleh Reuben B. Frost dari Springfield College mengenai bagaimana harus/menangani masalah takut ini, antara lain diajukan beberapa pendapat sebagai berikut: 1. Mencoba menemukan dan memahami sebab-sebab terjadi rasa takut. 2. Mendekati dan mengenali situasi yang di takuti secara sedikit demi sedikit. 3. Mempersiapkan diri untuk menghadapi apa yang ditakuti dengan membuat perencanaan yang pasti dan taktik yang tepat guna. 4. Menguji dan menganalisa alasan-alasan mengapa sampai terjadi ketakutan. Menolong mencarikan sebab-sebab timbulnya kesulitan-kesulitan yang ditakuti (adakah pengaruh kecelakaan yang dulu-dulu atau memang belum mengenal problimnya). 5. Menanamkan keakraban antara anggota group dan rasa saling percaya antara anggota (berdiskusi bersama-sama, ngomong-ngomong, menyanyi bersama, dsb.) 6. Memberikan sugesti bahwa orang-orang yang banyak pengalaman akan selalu memberikan pertolongan kepada yang muda-muda. 7. Meningkatkan kekuatan dan ketrampilan (skill). 8. Kerjakan sesuatu yang dapat menghilangkan rasa takut. 9. Kebanyakan rasa takut akan lenyap pada waktu kegiatan-kegiatan yang ditakutkan itu telah mulai dilakukan. c. Marah Marah adalah emosi yang sering timbul juga dalam dunia olahraga, dan marah ini pernyataanya selalu dijunjukan pada benda-benda atau orang-orang di sekitarnya dalam bentuk-bentuk yang bersifat agresif dan spontan. Manifestasi marah bentuknya bermacam-macam bergantung pada taraf pendidikan, kebisaan, umur, dan sebagainya. Marah juga dapat menimbulkan tenaga yang luar biasa yang tidak mungkin dapat diperbuat oleh orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada saat-saat dia tak marah. Karena marah juga termasuk emosi, maka seseorang yang sedang marah sudah jelas akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan akalnya sehingga orang yang sedang marah itu tidak mungkin lagi untuk mengerjakan hal-hal yang rumit yang membutuhkan ketelitian. Begitu pula dalam kehidupan berolahraga, terutama dalam pertandingan-pertandingan, banyak sekali rangsangan-rangsangan yang memancing kemarahan para olahragawan yang sedang bertanding, sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan bagi yang sedang marah itu menjadi lebih agresif, spontan, kurang perhitungan sehingga ketelitiannya juga berkurang. Karena ketelitiannya hanya menyalurka kemarahan untuk hal-hal yang dapat mencelakakan atau merugikanlawannya. Misalnya saja kalau dalam bermain bola volley keinginannya juga hanya bermain keras saja artinya dia ingin men-smash bola sekeras-kerasnya, syukur-syukur kalau tangan yang men-block itu cidera karena akibat dari kerasnya smash yang dilakukan, misalnya jari tangan lawan itu dapat tergilir atau sobek. Dia tidak lagi ingin placing bola kearah tempat-tempat yang kosong. Makin dia gagal makin bertambah marahnya. Selama dia belum merasa puas dalam meyalurkan kemarahannya, selama itu pula tindakan-tindakannya atau usaha-usaha hanya akan lebih banyak dikendalikan emosi amarahnya dan jauh dari pertandingan akalnya. Karena sifat marah memerlukan spontanitas dan ditunjukkan dalam bentuk-bentuk agresifitas, maka jalan paling baik adalah jika atlit-atlit tersebut dapat dapat menghambat spontanitasnya dan mengurangi sikap agresifitasnya. Artinya menanggapi kemarahan itu dengan sikap-sikap yang baik atau positif. Kalau dalam olahraga yang ada time-out, lebih baik diambil time-out terlebih dahulu agar spontanitas kemarahan itu tertunda pelaksanaanya. Meskipun hanya beberapa detik, biasanya sudah cukup untuk mengurangi derajat kemarahannya. Kadang-kadang seseorang yang marah dapat mengatasi kemarahanya dengan cara mengambil nafas dalam-dalam beberapa kali dengan menghitung sampai beberapa puluh atau menghadapi kemarahan itu dengan senyum untuk mengurangi kemarahan tersebut. Dalam pertandingan-pertandingan adalah sukar untuk dapat menghilangkan sumber darai kemarahan, sebab dalam dunia olahraga kadang-kadang memancing kemarahan lawan adalah disengaja dengan harapan kalau lawan itu sudah tidak sadar lagi, akibatnya dia ingin tetapi main keras yang dapat mengakibatkan banyaknya energy yang harus dikeluarkan sehingga pada suatu saat dia kehabisan tenaga dapat dengan mudah untuk dikalahkan.hal-hal seperti diatas harus disadari , dimengerti dan disadari oleh para olahragawan, jangan sampai dia kena pancing siasat lawan untuk menjadi marah. Ingat marah memang dapat menimbulkan tenaga yang luar biasa, tetapi jangan sampai mengakibatkan hilangnya pertimbangan akal dalam menyalurkan timbulnya tenaga tersebut. Manfaat tenaga itu untuk usaha-usaha yang produktif. Untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang dapat ditimbulkan oleh kemarahan perlu dicari bagaimana jalan meredahkan kemarahan yang terjadi. Hal ini dapat diusahakan antara lain dengan cara: 1. Menghambat spontanitas tindakan kemarahan 2. Mengurangi agresifitas tindakan kemarahan. 3. Menanggapi kemarahan dengan tindakan-tindakan atau usaha yang positif. 4. Melupakan atau menghilangkan/menghindari sumber kemarahan. 2.3 Pengendalian Emosi kunci Meraih Prestasi Anthony Dio Martin penulis buku Emotional Quality Managament (2003) dan Audio Book Emotional Power (2004), mengungkapkan bahwa kesuksesan itu ditentukan oleh visi, imajinasi, aksi dan emosi. Emosi berperan penting, karena manusia saling berhubungan satu dengan yang lain. Seringkali kita menganggap bahwa emosi adalah hal yang begitu saja terjadi dalam hidup kita. Kita menganggap bahwa perasaan marah, takut, sedih, senang, benci, cinta, antusias, bosan, dan sebagainya adalah akibat dari atau hanya sekedar respon kita terhadap berbagai peristiwa yang terjadi pada kita. Daniel Goleman dalam bukunya, Emotional Intelligence, mendivinisikan emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Sedangkan Anthony Robbins dalam Awaken the Giant Within menunjuk emosi sebagai sinyal untuk melakukan suatu tindakan. Di sini ia melihat bahwa emosi bukan akibat atau sekadar respon, tetapi justru sinyal untuk kita melakukan sesuatu. Jadi dalam hal ini ada unsur proaktif, yaitu kita melakukan tindakan atas dorongan emosi yang kita miliki. Bukannya kita bereaksi atau merasakan perasaan hati atau emosi karena kejadian yang terjadi pada kita. Padahal sesungguhnya kemampuan kita dalam mengendalikan dan mengelola emosi kita merupakan faktor penentu penting keberhasilan atau kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan kita. Sejak diperkenalkan Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence - EQ) oleh Daniel Goleman pada 1995 tersebut, perhatian masyarakat mulai beralih dari kecerdasan intelektual (IQ) semata kepada kecerdasan emosional. Dan tahukah anda bahwa kesuksesan seseorang itu 80% ditentukan oleh EQ ketimbang IQ. Emosinya merupakan sumber kekuatan yang sangat dahsyat maka sebenarnya kelemahannya merupakan kekuatannya, tentu dengan catatan jika dia dapat mengelolanya dengan baik. Lantas timbul satu pertanyaan, bagaimana mengelola emosi? Dr. Patricia Patton dalam bukunya Emotional Quotient mengungkapkan bahwa untuk mampu mengatur emosi adalah dengan cara belajar. 1. Belajar mengidentifikasikan apa saja yang bisa memicu emosi kita dan respon apa yang biasa kita berikan. 2. Belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala hal di sekitar kita yang dapat memberikan pengaruh dan yang tak dapat memberikan pengaruh pada diri kita. 3. Belajar selalu bertanggung jawab pada setiap tindakan kita. 4. Belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menyelesaikan masalah. 5. Belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati. Kelima hal inilah yang apabila kita pelajari akan memudahkan diri kita dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan kelima hal inilah maka dengan mudah kita mampu mengendalikan emosi itu. Kita mampu mengelola emosi itu sehingga bisa kita endapkan dalam hati. Jika kita mampu mengelolanya maka jadilah emosi itu sebagai energi untuk memajukan diri. Contohnya, seorang Peter Gade yang mampu mengelola emosinya, menggunakan semangat dari kemarahan karena sering disepelekan karena usianya yang sudah tua) menjadi pemicunya dalam mengejar prestasi sehingga dia bisa membuktikan kalau dia bukan si pecundang tua yang dapat disepelekan dalam TUC kemarin. Tetapi yang tak boleh dilupakan, sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa menghindarkan diri untuk berinteraksi dengan manusia yang lain, dalam hal ini dengan kemampuan menggunakan emosi sebagai pembawa informasi, kita bisa melihat sisi, kadar intensitas emosi orang lain yang muncul dari komunikasi non-formalnya, berupa ekspresi, tekanan nada suara, gerakan ataupun bahasa tubuh yang dipakainya. Jika kita mampu membaca bahasa-bahasa itu maka bisa diupayakan tindakan kontra reaksi dari emosi orang tersebut. Umpamanya, jika kita lihat ada gejala mitra atau lawan bicara kita kurang suka, maka kita antisipasi dengan dengan berbicara yang bersifat menetralkan perasaan orang tersebut. Setelah kita pahami masalah emosi diri maupun emosi orang lain, maka secara mudah kita menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. Sehingga diharapkan muncul pribadi yang menyenangkan. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik akan peka terhadap situasi apapun yang sedang terjadi, serhingga dengan mudah menyiapkan strategi kontra situasi terhadap suatu konflik yang ada. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Emosi dapat diartikan sebagai suatu tindakan/respon dari rangsangan luar ataupun dalam dimana keadaan fisiologis dan psikologis tidak dalam keadaan seimbang.Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Pengaruh posifif dari emosi adalah memiliki semangat yang tinggi, energi lebih untuk beraktifitas dan motivasi diri.Semua hal tersebut sangat berpengaruh tergantung pada kekayaan pengalaman, pengertian, pengetahuan terhadap situasi sesaat.Pengaruh negatif dari emosi adalah gelisah, takut, dan marah. Anthony Dio Martin penulis buku Emotional Quality Managament (2003) dan Audio Book Emotional Power (2004), mengungkapkan bahwa kesuksesan itu ditentukan oleh visi, imajinasi, aksi dan emosi. Emosi berperan penting, karena manusia saling berhubungan satu dengan yang lain. Menurut Daniel Goleman pada 1995 mengemukakan bahwa kesuksesan seseorang itu 80% ditentukan oleh EQ ketimbang IQ. Adapun cara untuk mengelola emosi adalah sebagai berikut : 1. Belajar mengidentifikasikan apa saja yang bisa memicu emosi kita dan respon apa yang biasa kita berikan. 2. Belajar dari kesalahan, belajar membedakan segala hal di sekitar kita yang dapat memberikan pengaruh dan yang tak dapat memberikan pengaruh pada diri kita. 3. Belajar selalu bertanggung jawab pada setiap tindakan kita. 4. Belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menyelesaikan masalah. 5. Belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati. 3.2 Saran Emosi dapat diartikan sebagai suatu tindakan/respon dari rangsangan luar ataupun dalam dimana keadaan fisiologis dan psikologis tidak dalam keadaan seimbang.Bagi para olahragawan harus memiliki kekayaan pengalam, pengertian dan pengetahuan yang baik agar emosi dapat dikelola dengan baik agar memperoleh hasil yang positif berupa semangat juang yang tinggi, energi tambahan dan memacu motivasi diri kita sendiri.